
KUDUS, Suaranahdliyin.com – Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) menggelar sosialisasi pengawasan partisipatif bersama pegiat seni Kabupaten Kudus di RM. Saung Bambu Wulung, Kamis (12/03/2020). Pada kesempatan itu, Bawaslu mengajak 100 seniman yang hadir untuk menggaungkan pengawasan pemilu kepada masyarakat melalui karya seni.
Ketua Bawaslu Kudus Moh. Wahibul Minan menyatakan partisipasi yang minim dari masyarakat, utamanya generasi millennial, menjadikan acara ini penting dilaksanakan. Menurutnya, dunia seni bisa menjadi media untuk menarik minat kawula muda untuk turut aktif dalam kepengawasan pemilihan umum.
“Harapannya pegiat seni juga akan berperan melaksanakan pendidikan politik dan demokrasi kepada semua komponen di masyarakat melalui karyanya,” papar Minan.
Hadir pada kesempatan itu sebagai pemateri Sekjen Dewan Kesenian Kudus Ponco Widigdo, Wakil Ketua Lesbumi NU Kudus Muhammad Zaini MPd, Kabid Kebudayaan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Sutiyono dan Komisioner Bawaslu Eny Setyaningsih.
Menurut Ponco Widigdo, seni dan politik tidak bisa dipisahkan. Dalam tahapan kampanye pemilu misalnya, banyak para seniman yang dilibatkan untuk menarik simpati massa melalui sebuah gelaran pertunjukan. Hal itu bahkan sejak dahulu kala sudah diperankan oleh para founding fathers NKRI seperti Ki Hadjar Dewantara, Sjahrir dan lainnya.
“Hanya saja, jangan sampai pegiat seni ini ditarik kepada kepentingan politik yang negative sehingga meruntuhkan sendi-sendi demokrasi yang berujung pada disintegrasi bangsa,” jelas Ponco.
Wakil Ketua Lesbumi NU Kudus, Muhammad Zaini, menyoroti ekspresi pegiat seni millennial yang dipandang prospestif sebagai corong pengawasan pemilu dan demokrasi. Ia juga mendorong kepada generasi muda agar tidak takut menyuarakan demokrasi. Dengan bekal kreativitas, nalar seni dan kecakapan mengakses teknologi informasi yang dimiliki, generasi millennial harus lebih paham berdemokrasi yang sehat.
“Jangan sampai tertipu atas politik yang hanya memanfaatkan massa saja. Generasi milineal dan generasi z harus paham terkait asas demokrasi. Harus juga saling asah asih dan asuh sehingga mereka mampu menghargai cipta rasa dan karsa dalam demokrasi,” kata Zaini.
Sementara itu, Sutiyono menambahkan dunia seni memang harus berperan sebagai penyeimbang pada setiap musim kontestasi demokrasi. Tujuannya tentu saja untuk merawat nalar publik agar tetap sehat dan tidak terbawa pada panasnya persaingan elektoral.
“Pemilu harus dikemas dengan baik. Karena hakekat pemilu itu bagaikan kopi yang rasanya pahit. Agar manis, maka kopi harus diolah dan ditambah gula, begitu pula dalam dinamika demokrasi pemilu, pegiat seni harus bisa menjadi pemanis dalam demokrasi kita,” paparnya. (rls/ rid, ros, adb)