
TEMANGGUNG, Suaranahdliyin.com – Pengurus Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Komisariat Trisula STAINU Temanggung mengkaji bahasa lokal khas Temanggungan, Jumat siang (8/2/2019) di aula STAINU Temanggung.
Kegiatan yang dirangkai dengan diskusi rakyat bertajuk “Kajian Bahasa: Sikak, Sikem, Jidor, Thelo Ditinjau dari Berbagai Perspektif”, itu menghadirkan Hamidulloh Ibda dan Khamim Saifuddin, dosen STAINU Temangggung sebagai narasumber.
Hamidulloh Ibda, mengutarakan, bahasa umpatan, makian, marahan, pisuhan, nesunan tidak bisa dianalisis dan dilihat secara kajian linguistik saja, namun harus memahami etnografi, etnolinguistik, filologi, sosiolinguistik dan psikolinguistik.
“Temuan data yang Saya dapatkan, muncul idiom kata sikak, thelo, sikem, jidor ini berasal dari petani tembakau yang ditindas oleh konspirasi global yang merugikan, dan berpotensi mematikan tembakau sebagai mata pencarian utama warga Temanggung,’’ katanya.
Lantaran ditindas oleh berbagai kebijakan yang memarjinalkan petani tembakau dan rokok (kretek), maka muncullah gerakan perlawanan berupa kesenian, ketoprak dengan drama yang menyindir, manifesto gerakan, demo, dan kata-kata perlawanan termasuk umpatan thelo, jidor, sikem, sikak,” terang Ibda.
Selain itu, Ibda menambahkan, petani juga melawan dengan membentuk organisasi seperti APTI untuk melindungi petani dan masa depan pertembakauan. “Ada idiom ngrokok mati, ora ngrokok mati, mending ngrokok sampek mati. Di antara gerakan kultural kreatif itu salah satunya muncul idiom budaya berupa bahasa-bahasa umpatan itu,” tambahnya.
Apakah bahasa itu kasar? Menurutnya, kasar atau tidak kasar bergantung dengan perspektifnya. “Umpatan memang diartikan sebagai kata, frasa atau kalimat kotor, jijik, jorok, tak patut diungkapkan. Biasanya identik dengan anggota badan seperti matamu, dengkulmu. Lalu kondisi kejiwaan manusia seperti gendeng, bento, stress dan lainnya. Selain itu juga nama-nama hewan seperti asu, celeng, dan lainnya. Ada juga umpatan dari jenis pekerjaan hina manusia seperti lonte, perek, babu, dan lainnya,” tutur penulis buku Bahasa Indonesia Tingkat Lanjut untuk Mahasiswa itu.
Pengurus LP Ma’arif NU Jateng ini pun mengemukakan, bahwa dalam memahami kata umpatan tidak hanya cukup pada linguistiknya saja. “Perlu sosiolinguistik. Untuk memahami ragam bahasa umpatan, kita perlu yang namanya register (variasi) bahasa berdasarkan penggunaannya yang dapat dilihat dari aspek pekerjaan, kelas sosial, dan daerah atau budaya tertentu,’’ paparnya.
Dijelaskan lebih lanjut, register merupakan kunci untuk memahami bahasa yang diucapkan. ‘’Kita tidak akan paham bahasa kaum kuli, sopir, kalau kita tidak memahami bahasa kuli atau sopir. Umpatan khas Temanggungan, juga harus melihat dengan memahami emosi, tujuan dan kondisi psikis antara penutur dengan mitra tuturnya dengan setting budaya dan lokalitas Temanggung,” paparnya.
Sementara narasumber lain yang juga dosen STAINU Temanggung, Khamim Saifuddin, pada kesempatan itu mengulas tema yang diangkat dari perspektif sosial budaya. (dheta as/ ros, adb).