
KUDUS, Suaranahdliyin.com – Relasi Nahdlatul Ulama (NU) dengan Negara, yang perlu dicatat adalah perannya yang mengokohkan status (Indonesia, red) sebagai Negara Bangsa (Nation State).
Demikian disampaikan ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI, Hasyim Asy’ari SH MSi PhD dalam halaqah fikih peradaban yang mengusung tema “Fikih Siyasah dan Masalah Kaum Minoritas”, Ahad (13/11/2022).
Dalam acara yang digelar di Aula Pondok Tahfidh Yanbu’ul Qur’an (PTYQ) Kudus itu Hasyim Asy’ari, menyampaikan, bahwa Indonesia bukan negara sekuler ekstrem, sebab spirit agama senantiasa melekat pada Negara Indonesia.
“Bahkan dalam teks-teks kebangsaan, pengadilan, pelantikan di Indonesia tidak pernah terlepas dengan narasi keagamaan, seperti ketuhanan; demi Tuhan, dalam keadilan Tuhan, dan lainnya,” ujarnya.
Selanjutnya dia mengemukakan, bahwa jika mengacu pada sudut pandang “mayoritas dan minoritas” dalam sistem pemilihan di Indonesia, pada dasarnya masih belum jelas. “Sistem pemilihan di Indonesia mengacu pada sistem yang proporsional. Dengan demikian, tidak jelas mana yang minoritas dan mana yang mayoritas,” paparnya.
Dan menurutnya, penting juga untuk dikemukakan terkait sistem pemilihan di Indonesia, antara lain soal hak pilih perempuan, penyandang disabilitas dan Orang dalam Gangguan Jiwa (ODGJ).
“Indonesia secara demokrasi lebih maju dibanding Amerika dari sisi memberikan hak pilih perempuan. Amerika memberikan hak pilih terhadap perempuan baru berlangsung tahun 1970-an, sedangkan Indonesia sudah lebih dulu,” tuturnya.
Selain itu, lanjutnya, pada mulanya ODGJ dan disabilitas mental tidak memiliki hak pilih. Kemudian pada 2019, Undang-undang (UU) menghapus ketentuan tersebut.
“Kuantitas bukan acuan dalam menentukan minoritas – mayoritas. Secara ekonomi, misalnya, meskipun dipegang oleh segilintir orang yang secara kuantitas sedikit, namun secara pengaruh begitu besar,” tegasnya.
Ketua Lakpesdam PBNU, KH Ulil Abshar Abdalla, menyampaikna, bahwa fikih peradaban yang digagas oleh ketua PBNU, KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya), tak lain agar para kiai terlibat berbicara mengenai problematika Internasional.
“Selain halaqah ini, PBNU juga menggagas R-20 (yang baru selesai digelar belum lama ini, red). Sebuah forum diskusi antaragama yang diadakan dengan misi agar agama dapat menjadi solusi atas problematika dunia,” urainya.
Dikatakan oleh pengagum Imam Al-Ghazali itu, bahwa problematika dunia sangat beragam, dan di antara berbagai problematika tersebut juga ada beberapa yang bersinggungan dengan agama.
“Salah satu konten yang menjadi sorotan adalah problematika yang bersinggungan dengan agama. Sehingga perlu ditemukan solusi agar agama menjadi jalan keluar, bukan sumber atas masalah itu sendiri,” katanya dalam halaqah yang juga menghadirkan KH Najib Bukhori Lc MTHI, wakil ketua Lembaga Bahsul Masail (LBM) PBNU sebagai narasumber.

Sementara itu, halaqah yang dipandu Prof Dr Abdurrahman Kasdi (Rektor IAIN Kudus), ini dihadiri para kiai seperti KH Mc Ulinnuha Arwani, KH M Ulil Albab Arwani, KH Em Nadjib Hasan, KH A Badawi Basyir, KH A Ainun Na’im, KH Asyrofi Masyito, KH Nur Khamim, KH Ulinnuha, KH Amin Yasin, dan KH Aslim Akmal.
Nampak pula H M Hilmy, Kiai Syafi’i, KH Ahmad Nashih, Kiai Moh Mujab, KH Himam Awaly, Kiai M Islahul Umam, Kiai Naf’an, H Mawahib, KH Abdul Halim, KH Subhan, KH Syihabuddin Muin, Kiai Kholilurrohman, Dasa Susila, Kiai Syaifuddin, Kiai Irham, Gus Wafiq Choiri, Nyai Hj Chumaidah dan Dr Malaiha Dewi. (ros, gie/ adb)