“Pemimpin tangan besi mematikan nyali, pemimpin yang dinabikan mematikan nalar.” (Sujiwo Tejo)
Saya sangat suka dengan kata-kata ini, dan saya ingin menambahkan begini: “Pemimpin yang tak pernah melakukan kesalahan, cenderung diberhalakan.”
Kita patut bersukur, memiliki pemimpin yang memiliki kesalahan (politik konstitusional) di akhir masa jabatannya, sehingga kita tak sampai menyembahnya!
Pemilu kali ini, kita tidak sedang memilih Imam Mahdi atau Khulafa’urrasyidin. Kita hanya akan memilih Presiden, yang ganti setiap lima tahun sekali. Jadi kita tidak perlu saling mengolok-olok, apalagi sampai menyesatkan. Toh kita hanya sedang memilih pemimpin dari jenis manusia yang memiliki potensi besar khilaf dan salah.
Berangkat dari sini, sebagian kiai melakukan ijtihad atas dasar kaidah fikih “akhafudl dlararain” (Memilih sesuatu yang paling sedikit mudarat/ kejahatannya.)
Untuk mengetahui itu, Anda bisa menggunakan mata untuk membaca, akal untuk berpikir, mulut untuk berdiskusi dan musyawarah, dan hati nurani untuk dimintai fatwa. Jika masih ragu, kita bisa istikharah, meminta petunjuk Tuhan; kalau masih belum menemukan jawaban, cukup ikut Guru/ Kiai di mana dulu kita mengaji dan menimba ilmu.
Dan yang paling penting, siapa pun yang terpilih nanti –meski bukan yang kita pilih– kita wajib menerimanya sebagai Presiden dan Pemimpin kita. (*)
Gus Mohammad Mujab,
Penulis adalah pengasuh Pondok Pesantren Al-Yasir Jekulo, Kudus.