BOYOLALI, Suaranahdliyin.com – Anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) RI, Maulana Habib Muhammad Luthfi bin Ali bin Yahya, mengatakan, Rasulullah hijrah tidak hanya memikirkan risalah saja, namun juga bagaimana mempersatukan bangsanya. Maka timbul Piagam Madinah untuk melindungi kaum Yahudi, serta kaum dan suku yang banyak (beragam) dengan memberikan haknya masing-masing.
“Sehingga tidak timbul perpecahan dalam negeri. Itu hebatnya (Rasulullah). Jangan dikira Rasulullah tidak cinta tanah air,” katanya dalam Haul Masyayikh dan Peringatan 1 Muharram 1445 Hijriah di Pesantren Darussalam Desa Bandung, Kecamatan Wonosegoro, Kabupaten Boyolali, Sabtu (29/7/2023) malam lalu.
Maka, menurut Maulana Habib Luthfi, di sini (Indonesia, red) banyak ulama mengatakan hubbul wathan minal iman (cinta tanah air bagian dari iman) atas dasar sejarah tersebut. Disebutkan, yang pertama kali dibangun Rasulullah bersama Sahabat ketika sampai di Madinah, yaitu sarana ibadah, Pendidikan dan perekonomian, sehingga makmur.
“Jihad bukan sekadar di medan perang saja, Allahu Akbar bangun supermarket, Allahu Akbar hidupkan dunia pertanian, Allahu Akbar ekonominya maju, Allahu Akbar pendidikannya luar biasa maju,” tuturnya.
Dijelaskan, semua pada akhirnya menjadi mata pelajaran bagi tokoh-tokoh terutama Imam Alwi Amal Faqih yang melahirkan Al Imam Amir Abdul Malik yang pertama kali datang ke India dengan membawa modal sejarah dari eyang-eyangnya. “Masuk ke India tidak langsung ke Indonesia (Nusantara),” katanya.
Disampaikan pula oleh tokoh sufi dunia itu, bagaimana para ulama membuat beragam adaptasi menghadapi umatnya. Seperti Wali Songo masuk ke Nusantara bukan adu kesaktian. “Yang datang masuk ke Indonesia (Nusantara) rata-rata ahli ekonomi, astronomi, pertanian, kedokteran dan obat-obatan,” paparnya.
Menurutnya, dakwah ulama atau auliya waktu itu mampu membangun ekonomi kerakyatan di lingkungan Brawijaya pada zaman Majapahit dan ada yang membawa di Pajajaran. Sehingga bisa memberikan income (penghasilan) ke daerah yang dimasukinya.
“Memudahkan untuk cara berdakwah. Bukan (berdakwah dengan) pedang. Bukan menanamkan permusuhan. Itu hebatnya para beliau (ulama/ auliya). Sampai sekarang beliau masih mampu (berperan), padahal sudah wafat 400 atau 500 tahun lalu. Kalau tidak percaya itu di Kadilangu Demak, seandainya tidak ada Sultan Abdul Fatah, Sunan Kalijaga, ramai tidak kira-kira?” ungkapnya.
Habib Luthfi pun menerangkan mengapa disebut Sunan Kalijaga? “Kali itu aliran, perlu ada yang jaga satu persatu biar bersatu. Bukan sekadar bertapa di Bengawan Solo sampai berlumutan, bukan itu saja. Tapi Sunan Kalijaga menjaga aliran-aliran supaya tidak terjadi pecah-belah. Itu tugasnya para ulama dan auliya,” tegasnya.
Pengasuh Pesantren Darussalam, Kiai Khumaidi, mengutarakan, pesantren adalah salah satu tempat kita berkhidmah menyebarkan ilmu agama, dan membimbing santri menjadi saleh-salihah yang semangat tidak mudah patah arang.
Di Darussalam, katanya, mengembangkan sejumlah pendidikan formal dan non formal serta usaha lain. “Hal ini untuk menjadikan pesantren yang mandiri. Pesantren yang mempunyai usaha keterampilan dengan bekerja sama pemerintah bagaimana mengupayakan santri ketika pulang tidak hanya ngaji fikih (hukum Islam) tapi juga ngaji sugih (kaya),” terangnya.
Disampaikan, ini sebagai dakwah kita yang tidak hanya ngaji tapi juga harus bisa mengelola potensi-potensi yang ada di Negeri ini. “Insyaallah dengan bekal ilmu agama dan ilmu pengetahuan, Allah Subhahu wa Ta’ala memberikan jalan menuju rahmatan lil ‘alamin,” tandasnya di depan tak kurang dari tujuh ribu jamaah yang hadir dan disemarakkan pula oleh kehadiran hadrah Pesantren Salafiyah An-Nibros Al-Hasyim Suruh, Kabupaten Semarang. (siswanto ar/ ros, adb)