Serpihan Keteladanan Kiai Maghfur Usman

0
2925

Oleh: M. Faizul Kamal

M. Faizul Kamal bersama mendiang KH. Maghfur Usman

Kepergian Prof. Dr. KH. Maghfur Usman pada Kamis (17/5) lalu, membawa kesedihan tersendiri bagi Saya. Kiai Maghfur Usman merupakan sosok yang sangat dikenal banyak kalangan dengan beragam aktivitas (jabatan) yang pernah diemban.

Intelektual Nahdlatul Ulama (NU) yang pernah mengenyam pendidikan di madrasah Tasywiquth Thullab Salafiyah (TBS) Kudus, ini pernah menjabat Mustasyar PBNU. Namun kerpibadiannya sangat santun, bersahaja, rendah hati dan humoris. Suatu keberuntungan, Saya bisa bersilaturahhmi dengan beliau tahun 2017 lalu.

Saat mendengar kabar kepergiannya, Saya teringat dengan kisah “unik” saat sowan ke kediamannya di Cepu, Blora. Bermula ketika Saya menjadi reporter di majalah Ath-Thullab madrasah TBS Kudus, edisi XXI, yang ditugaskan wawancara dengan Kiai Maghfur Usman.

Pada 18 Maret 2017, Saya berangkat sendirian ke Blora. Sampai di Blora Saya tidak langsung menuju kediaman beliau, namun istirahat sejenak di rumah kerabat di Cepu. Selain alasan itu, pakewuh jika langsung menuju ke kediaman Kiai Maghfur, karena saat itu sekitar pukul 13.00 WIB, waktu istirahat siang.

Usai Ashar, hujan lebat mengguyur. Terpaksa Saya mengurungkan niat sejenak, menunggu hujan reda. Hujan memotong waktu cukup lama. Setelah reda, Saya pun bergegas menuju kediaman beliau yang tidak jauh dari rumah kerabat.

Sampai di kediamannya di depan Pondok Pesantren dan MI Assalam Cepu, Saya bergegas masuk. Mengingat waktu mendekati Maghrib. Pikir Saya saat itu, tidak dapat lama-lama untuk berbincang dengan beliau, mengingat waktu.

Saya terkaget ketika pertama kali melihat beliau yang terbaring di kasur, karena sudah tidak lagi mampu berjalan. Dengan lagak sedikit malu, Saya menjelaskan maksud dan kedatangan sowan beliau.

Setelah mendengar penjelasan Saya, beliau pun memahami maksud Saya untuk mewawancarai kehidupan beliau. Dengan nada bercanda, beliau berkata, “Silakan kalau mau tanya apa saja tidak apa-apa, yang penting jangan nanya soal PKI,” candanya.

Sebelum memulai pertanyaan, beliau mengatakan hal yang cukup mengejutkan: “Sesampainya nanti kamu di rumah, sampaikan salam Saya kepada Bapakmu. Juga kepada guru-guru di madrasah TBS”. Saya pun mengiyakan.

Satu-dua pertanyaan mulai kuutarakan, hingga rasa kagum pun muncul dalam hati. Betapa Kiai Maghfur memiliki perjalanan akademik dan pengabdian yang sangat panjang. Salah satunya dimulai ketika beliau berkemauan kuat untuk pergi (kuliah) ke Makkah atas dorongan ayahnya.

“Ayah Saya melarang menjadi pegawai negeri. Suatu saat Abah berkata supaya Saya harus bisa meniru (jejak) Abah ke Makkah. Alhamdulillah, impian itu pun terwujud pada 1973,” jelasnya.

Waktu semakin mendekati Maghrib. Hujan masih terdengar rintiknya. Saya menyukupkan wawancara. Namun Saya merasa was-was, ketika melihat alat rekam di HP ternyata salah pencet dan jadilah semua pembicaraan dengan Kiai Maghfur tidak terdokumentasi. Parahnya, saat tidak banyak mencatat hasil perbincangan. Saya pun pamit dan meminta barokah doa dari beliau.

Beberapa hari setelah wawancara, ketika mau menuliskan laporan untuk dimuat dalam majalah, Saya “ketakutan sendiri”, karena keteledoran dalam melakukan wawancara. Saya bingung ketika hendak menulis hasil wawancara. Banyak data-data berupa tanggal dan tahun yang Saya lupa. Saking bingungnya, Saya pun kemudian melacak riwayat hidup Kiai Maghfur di internet, yang ternyata tidak banyak yang dapat Saya ambil.

Ketimbang berisiko terjadi salah data, Saya memutuskan kembali lagi ke Cepu, sowan kembali ke beliau. Ketika bertemu untuk kedua kalinya ini, Saya sungguh beruntung karena mendapat nasihat sekaligus kelonggaran waktu untuk dapat bertanya banyak hal.

Yang menghatuskan, Kiai Maghfur dengan senang hati bersedia diwawancara ulang dan bisa memaklumi ketelodoran Saya. Proses wawancara pun berlangsung, dengan alat rekaman dan catatan yang sudah Saya persiapkan dengan baik.

Setelah menjelaskan panjang lebar tentang perjalanannya, beliau pun menyisipkan nasihat, bahwa semua impian itu perlu niat yang tinggi. Setelah tercapai niat, maka yang kedua adalah semangat. “Semangat yang akan membawamu tergerak. Semangat muculnya dari hati,” ungkapnya.

Sebelum pamit, Saya meminta untuk foto bersama. Seusai foto, beliau meminta Saya untuk mengirimkan foto itu di lain kesempatan. Dengan senang hati, Saya pun mengiyakan permintaan beliau.

Istri Kiai Maghfur yang saat itu mendampingi, tiba-tiba memberi sebuah kertas. Setelah Saya lihat, ternyata data riwayat hidup kiai. Kekaguman Saya pun bertambah karena apa yang Saya dapat dari beliau dengan apa yang ada didata (yang dikasihkan istrinya) lebih sedikit dibanding yang ada dalam riwayat hidup.

Di antara isi dalam kertas riwayat hidup tersebut, mencatat daftar karya-karyanya sejumlah lebih dari 25 karya. Antara lain Mari Menebar Ukhuwah: Memahami Ajaran Islam dan Tradisi Islam (2007), Risalah Fi Takhrijil Hadis (2005), dan Aqidah Imam Syafi’i (2002).

Salain itu ada banyak pengabdian dan pengalaman lain yang mungkin sengaja tidak diceritakan, atau memang lupa saking banyaknya. Seperti Kiai Maghfur yang pernah menjadi ketua Perhimpunan Studi Islam Universiti-Universiti Asia Tenggara (1995-1998).

Tiba saatnya Saya undur diri. Saya pulang dengan riang hati, karena tidak hanya mendapat pengalaman, juga ilmu dan keteladannan.

Satu tahun setelah itu, baru Saya dapat memberikan foto saat wawancara yang sudah Saya figura dengan ukuran agak besar, sekaligus memberikan majalah. Ketika bertemu ketiga kalinya, kondisi kesehatan Kiai Maghfur sudah menurun. Saya pun tidak banyak berbincang. Setelah menyerahkan foto dan majalah, Saya mencium tangan beliau yang duduk di kursi roda. (*)

M. Faizul Kamal,

Reporter Majalah Ath-Thullab pada madrasah Tasywiquth Thullab Salafiyah (TBS) Kudus 2016/2017.

Comments