Oleh: Kiai M. Islahul Umam
Ramadan adalah bulan paling mulia. Di bulan tersebut, Allah membuka pintu-pintu surga. Pintu neraka dikunci. Setan dibelenggu. Ibadah dimudahkan. Oleh karenanya, sangat disayangkan apabila kita melewatkan bulan ini begitu saja, tanpa mengisinya dengan ibadah semaksimal mungkin.
Ibadah paling utama di bulan ini adalah puasa. Dalam hadits shahih disebutkan bahwa Nabi Saw bersabda: “Barangsiapa berpuasa di bulan Ramadan dengan iman dan dengan ikhlas maka diampunilah dosa-dosanya yang telah lewat.” (HR. Al-Bukhari)
Puasa yang mendatangkan pahala besar, dan yang menghapus dosa-dosa, adalah puasa yang sempurna. Agar puasa menjadi sempurna, kita harus menjauhi perkara-perkara yang membatalkan puasa (mufatthirat) dan perkara-perkara yang merusak pahala puasa (muhbithat).
Perkara yang membatalkan puasa telah disebutkan oleh para ulama di dalam kitab-kitab fikih, misalnya makan dengan sengaja, muntah dengan sengaja dan sebagainya. Jika ini dilakukan maka puasa batal dan wajib diqadha.
Yang kadang kurang diperhatikan oleh masyarakat adalah perkara yang merusak pahala puasa. Jika ini dilakukan maka puasa sah akan tetapi tidak ada pahalanya. Nabi saw bersabda: “Banyak orang berpuasa, tidak ada yang ia dapatkan dari puasanya selain lapar dan haus.” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah)
Di antara perkara yang merusak pahala puasa adalah ghibah (menggunjing). Dalam sebuah riwayat disebutkan: “Orang yang berpuasa berada dalam ibadah, mulai shubuh hingga petang, selama tidak menggunjing. Ketika menggunjing maka ia merusak (pahala) puasanya.” (HR. Ad-Dailami)
Ghibah merupakan perbuatan yang sangat dilarang dalam Islam. Ghibah adalah menyebut kekurangan orang lain, baik terkait dengan fisik, ibadah, harta benda, perilaku, anak, orang tua, pasangan hidup, pembantu, pakaian, rumah atau sejenisnya, yang berkaitan dengan orang tersebut.
Imam an-Nawawi (W. 676 H) menjelaskan dalam al-Adzkar (hal 300-301), bahwa semua hal, baik berupa ucapan, tulisan, gerakan maupun isyarat, yang menunjukkan aib orang lain, adalah ghibah yang diharamkan.
Bagaimana jika aib yang diceritakan sesuai dengan kenyataan? Justru inilah yang disebut ghibah. Jika tidak sesuai kenyataan, disebut fitnah (kebohongan).
Dalam sebuah hadits shahih yang diriwayatkan Imam Muslim, Nabi Muhammad SAW berkata kepada para sahabat: “Tahukah kalian tentang ghibah?” Mereka menjawab: “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.” Beliau berkata: “Ghibah adalah menyebutkan apa (kekurangan) yang tidak disukai oleh saudaramu.” Lalu ada yang bertanya: “Bagaimana jika kekurangan yang aku sebutkan, memang ada pada saudaraku?” Beliau berkata: “Jika kekurangan itu memang ada padanya, maka kamu telah melakukan ghibah, dan jika tidak ada padanya, maka kamu telah memfitnahnya.”
Hukum ghibah sendiri, sangat tegas dijelaskan dalam al-Qur’an sebagai perbuatan yang diharamkan. “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain.” (QS. Al-Hujurat : 12)
Namun, ada juga ghibah yang diperbolehkan. Pertama, untuk melaporkan kezaliman. Orang yang dizalimi atau dianiaya, boleh mengadukan orang yang menzalimi dia kepada pihak yang bisa menghentikan kezaliman tersebut.
Kedua, meminta bantuan untuk menghilangkan kemungkaran. Ketika seseorang melihat kemungkaran dan tidak mampu menghentikannya, dia diperbolehkan –bahkan diwajibkan- melaporkan pelaku kemungkaran kepada pihak yang memiliki kekuatan atau kekuasaan agar menghentikan kemungkaran tersebut.
Ketiga, meminta fatwa atau kejelasan hukum agama. Keempat, memperingatkan kaum muslimin dari kejelekan dan keburukan. Kelima, ketika seseorang melakukan kemaksiatan di depan umum tanpa rasa malu, maka kita boleh menceritakan kemaksiatan tersebut, dengan tujuan agar masyarakat menjauhinya, sehingga selamat dari pengaruh buruk yang ditimbulkannya.
Keenam, jika seseorang telah dikenal dengan julukan tertentu terkait dengan kekurangannya, misalnya: si pincang, si bisu dan lainnya, maka kita boleh menyebutnya dengan julukan itu, untuk memperjelas informasi, tanpa ada niat mencelanya.
Bentuk-bentuk ghibah yang diperbolehkan ini, jika dilakukan saat berpuasa, tidak akan merusak pahala puasa.
Perkara lain yang bisa merusak pahala puasa adalah namimah (mengadu domba), berbohong, mengucapkan sumpah palsu, dan lainnya.
Semoga kita termasuk orang-orang yang menjauhi perkara yang membatalkan puasa dan perkara yang merusak pahala puasa, sehingga ketika Ramadan berakhir, dosa-dosa kita telah diampuni. Amin. (*)
Kiai M. Islahul Umam,
Penulis adalah direktur Aswaja Center GP. Ansor Kabupaten Kudus.