Oleh: Dr KH Muchotob Hamzah MM
Saya pernah menulis kaitan Salat Jamaah dan Politik Demokrasi. Kali ini saya lanjutkan kajian Salat Jamaah dan Relasi Sosial.
Perintah berjamaah salat secara simultan, ada pada ayat 43 surat Al-Baqarah dan yang ditujukan kepada ibunda Nabi Isa, yakni Maryam, pada ayat 43 surat Ali Imran.
Dalam salah satu hadis, salat berjamaah dijanjikan pahala berlipat 27 kali dibanding salat sendiri (antara lain: Bukhari, No. 609; Muslim, No 1038 dan1039).
Meskipun berbeda dalam menghukumi hukum jamaah maktubah, Muchotob Hamzah (Salat Jamaah: Mahiyah, Kaifiyah dan Hikmah, 2009) para ahli mengatakan: 1. Wajib ‘ain tetapi tidak menjadi syarat sahnya salat seperti pendapat Imam Syafi’i; 2. Wajib dan menjadi syarat sahnya salat sebagaimana pendapat Ibnu Hazmin; 3. Sunnah muakkadah seperti pendapat para pengikut Imam Syafi’i, Maliki, Hanafi dan Hanbali.
Tetapi apapun perbedaannya, ternyata ada kesamaan dari pendapat mereka. Yaitu bahwa salat jamaah sangatlah dianjurkan. Dan jika ditelusuri lebih jauh, dalam sebagian salat sunah pun, ada anjuran berjamaah, yang di situ membentuk ring sosial.
Ring sosial pertama: jamaah salat sunnah sebaiknya di rumah. Ini bisa kita simpulkan dari hadis sahih berikut:
من استيقظ من الليل و ايقظ امراء ته فصليا ركعتين جميعا كتبا من الذاكرين الله كثيرا والذاكرات.
Artinya: Jika seseorang bangun malam kemudian membangunkan isterinya lalu mereka berdua salat bersama, maka mereka ditulis sebagai golongan orang yang banyak berzikir dari kalangan laki-laki dan perempuan (Abu Dawud No 1309; Ibnu Majah No 1335).
Pertama, membangun harmonitas sosial; ayah, ibu dan anak-anak, lebih lagi di zaman sekarang ketika orang tak pernah sempat makan bersama barang sekalipun dalam sehari. Maka tidak mustahil ini menjadikan si anak curhat kepada orang antah berantah.
Kedua: salat wajib lima waktu di masjid dan atau musala. Di sini muslim bisa berkomunikasi dengan sesama muslim minimal satu RT atau RW. Mereka bisa saling mengenal, bahkan berkolaborasi dalam berbagai sektor dan lini.
Ketiga, salat wajib jumat. Di sini mereka (kebanyakan kaum Adam) bisa mengenal dan berkomunikasi dengan orang sekampung, sedesa, sekota dan seterusnya. Komunikasi sesama muslim juga bisa terjalin dengan baik. Pun kerja sama di berbagai bidang dapat diawali.
Keempat. Salat sunnah Idul Adha pada 10 Zulhijjah dan Idulfitri pada 1 Syawal. Pada kesempatan ini, kaum Adam dan Hawa, besar kecil bahkan perempuan haid sekalipun bisa menghadiri di luar masjid atau lapangan, guna mendengarkan khotbah dan bersalaman. Ini juga momentum saling mengenal dan tidak haram berlanjut menjalin relasi di bidang yang lain.
Kelima. Wuquf di Arafah pada 9 Zulhijjah, thawaf di mathaf, sa’i di mas’a, mabit di Masy’ar maupun di Mina dapat memperluas ring sosial dalam skala global (internasional). Tidak hanya dengan orang sekampung, lokal, regional, dan nasional.
Tak pelak, begitu pentingnya salat berjamaah, Sahabat Abdullah Bin Umar Bin Khatthab pernah salat Isyak sepanjang malam sampai fajar, gegara ketinggalan berjamaah Isyak (Muchotob Hamzah, Ibid.).
Demikian juga seorang ulama salaf yang menyedekahkan kebun kurma kepada faqir miskin, karena ketinggalan jamaah salat Isyak. Pun pula ulama salaf lain, Ubaidillah Umar Al-Qawariri, yang setelah ketinggalan jamaah Isyak, lalu mencari di seluruh kampung. Ternyata penduduk kampung itu sudah berjamaah semua, lalu dia salat isyak 4 rakaat kali 27=108 rakaat (ibid).
Demikian pula dengan Al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani, yang mengatakan: “… Jamaah maktubah itu fardhu ‘ain menurut pendapat ‘Atha’, Auza’i, Ahmad dan para ahli hadis dari kalangan Syafi’iyah seperti Abu Tsaur, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Mundzir, dan Ibnu Hibban (Fathul Bari, 2/126). Wallaahu a’lam. (*)
Dr KH Muchotob Hamzah MM,
Penulis adalah ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Wonosobo.