Oleh: Dr KH Muchotob Hamzah MM
Salat adalah ibadah mahdhah/murni. Ia dimulai via hubungan baik secara lahir dan batin untuk taat dan hudhu’ seraya
takbiratul-ihram dengan= “Allahu Akbar” (hablun minallaah) dan diakhiri deklarasi damai dengan”salam”=Assalaamu ‘alaikum…(hablum minan-naas).
Dalam salat terdapat inti dari lima rukun Islam. Yaitu: 1). Salat. dalam salat banyak doa; 2). Syahadat (kesaksian ketika tahiyat); 3). Haji dengan keharusan menghadap Kakbah meskipun bukan menyembah Kakbah (mustaqbilal ka’bati, bukan musta’bidal ka’bati); 4). Zakat dengan mengeluarkan energi, waktu dan tawajjuh; 5). Shiyam, dengan menahan makan dan minum.
Fungsi-fungsi salat yang diinternalisasikan oleh syariat antara lain: 1). Sebagai tiang agama=’Imaaduddien (Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam At-Talkhiish); 2). Pengawal semua amal ketika dihisab kelak… (Bukhari 6864; Muslim 1678; Nasai 3991); 3). Generator amaliyah (behavior booster) kebaikan dan pengerem (behavior brake) dari amaliyah keburukan, sesuai dengan firman-Nya: Sesungguhnya salat akan mencegah perbuatan kotor dan mungkar (QS. 29: 45; Anas Bin Malik; Albani dalam Sahih Targhib no 376); 4). Media katarsis dan mohon tolong kepada Allah (pembersihan jiwa dari ketakutan, kecemasan, kegalauan, kesusahan dsb. QS. 2: 45); 5). Media penyerahan diri secara total hanya kepada Allah (QS. 6: 162); 6). Media menggapai kebahagiaan (Anas Bin Malik; Albani, sahih; Nasai 3939; Ahmad 14069; Baihaqi 13836); 6). Media membangun jiwa ma’yyah ma’a Allah (QS. 57: 4); 7). Media dan kunci surga (Tirmidzi nomor 4, sahih lighairih).
Kemudian, salat lima waktu semestinya dijalankan secara berjama’ah, meskipun para ahli (ulama) berbeda pendapat. 1). Ibnu Hazmin Al-Andalusi Al-Maliki menghukumi wajib ‘ain dan menjadi syarat sahnya salat; 2). Imam Syafi’i dalam Mukhtashar Al-Muzani menghukumi wajib ‘ain tetapi tidak menjadi syarat sahnya salat; 3). Berbagai kalangan dari ashhab Imam Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali ada yang menghukumi fardhu kifayah dan ada pula yang mencukupkan hukum sunnah muakkad saja (Muchotob Hamzah, Salat Jamaah: Mahiyah, Kaifiyah dan Hikmah, Jakarta: GIP, 1991).
Memang ada khilafiyah di atas, tetapi ulama salaf memberikan contoh sebagai berikut: 1). Sahabat Abdullah Bin Umar Bin Khatthab, gegara tertinggal menjalankan salat Isyak berjamaah, lalu menambalnya dengan salat Isyak sepanjang malam sampai fajar tiba (Mungkin hari ini ada yang tidak setuju karena tidak ada dalil khusus meskipun waktu itu tidak ada Sahabat yang menyanggahnya): 2). Seorang ulama yang lain pergi ke kebun kormanya sampai tertinggal jamaah salat Ashar. Saking menyesalnya, beliau kontan menyedekahkan kebun kurmanya kepada fakir miskin: 3). Seorang ulama bernama Ubaidullah Bin Umar al-Qawariri tidak bisa jamaah salat isyak karena ada tamu. Setelah tamu pulang ia mencari jamaah seluruh kampung, tetnyata tidak ada lagi. Maka dia menebusnya dengan salat sunah sebanyak 27 salaman (Muchotob Hamzah, ibid, hlm.17–18).
Begitulah salat jamaah demi komunikasi vertikal dan horizontal. Untuk komunikasi horizontal: 1). Jamaah salat sunah dalam keluarga untuk menjalin ring sosial pertama; 2). Jamaah salat wajib yang lima waktu di masjid atau mushalla, ring sosial kedua; 3). Jamaah salat Jum’at sepekan sekali, ring sosial ketiga; 4). Jamaah salat Idulfitri dan Iduladha, ring sosial keempat; 5). Jamaah salat ketika wuquf dan di Masjidil Haram, ring sosial kelima (Muchotob Hamzah, ibid, hlm. 3–4).
Dalam salat berjamaah ada intensitas komunikasi dengan Allah, sekaligus pembelajaran sosial–politik–demokrasi. Sungguh sangat menakjubkan bagi insan muslim yang mau menadabburinya.
Alangkah janggalnya orang yang telah bertakbiratul-ihram masih tidak malu berbuat dosa. Alangkah paradoksnya orang yang telah mengucapkan “Salam=Damai” dengan menoleh kanan kiri dan mengakhiri salat-jamaahnya masih menganggap musuh bahkan dari keluarga dan koleganya sendiri? Wallaahu a’lam. (*)
Dr KH Muchotob Hamzah MM,
Penulis adalah ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Wonosobo.