Neo Ateisme: Buah Muslim Radikal (?)

0
848

Oleh: Dr KH Muchotob Hamzah MM

Fenomena ateisme semakin meluas. Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebut mereka dengan “Ilaahahu hawaahu” (QS. 45: 23); dan/ menuhankan waktu = Dahr (QS. 45: 24). Anehnya, di Saudi, malah tergolong drastis perluasannya. Dari sebanyak 29 juta penduduk, 19% memandang agama dengan sebelah mata, dan ada sekira 5% yakin bahwa Tuhan tidak ada.

Kajian akademik menyatakan, bahwa mereka ber-ateis karena faktor yang mendasar, baik personal-internal maupun sosial eksternal (Prof. Sumanto Al-Qurthuby dari King Fahd University).

Dari berbagai literasi, dapat dipointerskan sebagai berikut:

1). Ketidakmampuan doktrin-doktrin agama menjawab pertanyaan-pertanyaan fundamental filosofis-ilmiah seperti asal-usul manusia dan kosmos; 2). Ajaran tentang emage Tuhan yang dianggap membingungkan dan kontradiktif; 3). Pengalaman traumatik melihat kekerasan dan teror oleh sekelompok ekstremis yang bertopeng agama seperti ISIS (Thomas L. Friedman, kolumnis New York Time, meminjam analisis dari Nadia Oweidat).

Selanjutnya; 4). Masyarakat yang semakin maju dan sejahtera (Ronald Inglehart dalam Sacred and Secular: Religion and Politic Worldwide, 2004); 5). Menganggap Tuhan sebagai pemberang dan irasional layaknya diktator-diktator Arab (Whitaker, Arabs without God, 2014); 6). Muak dengan pendakwah resmi pemerintah; 7). Pemuda ateis Mesir, Muhammad Ramadhan merasa Tuhan tidak adil, dengan menghukum abadi di neraka bagi orang yang hanya berumur 70 tahunan (ibid).

Merespons pointers di atas, mari kita coba urai beberapa hal berikut:

1). Masalah filosofis ilmiah selalu berkembang. Teori Newton direvisi oleh Enstein. Teori Enstein direvisi Stephen Hawking, dan seterusnya. Kebenaran di suatu masa disempurnakan oleh masa berikutnya. Meskipun Hawking berkesimpulan bahwa keberadaan Tuhan tidak dapat dibuktikan secara ilmiah, banyak pakar menyatakan, ketidakadaan Tuhan juga tidak bisa dibuktikan secara ilmiah. Dan kesimpulan mayoritas saintis meyakini adanya pencipta alam semesta.

2). Memang kalau emage Tuhan Yang Maha Sempurna dan tidak ada yang menyamai, tetapi oleh orang Wahabi-Salafi digambarkan sebagai Pemuda Amrad; tinggi Tuhan 60 hasta atau sekira 30 meter (Majmu’ Fatawa, al-‘Allaamah Abdul Aziz bin Baz, Darul Iftaa’, jilid 4, Fatwa No 2331, hlm. 368); Tuhan memiliki wajah, mata dan kaki (Ibnu Utsaimin, Syarh Aqidah li-Ibni Taimiyah, Daarut-Tsuraya, cet. I, hlm. 197, pen.). mungkin saja sebagian orang menjadi ateis atau agnostis. Tetapi dalil-dalil Ahlussunnah telah dengan apik menjawab tuntas persoalan teologis ini, silakan baca!

3). Pengalaman traumatik melihat kekerasan dan teror oleh sekelompok ekstremis yang bertopeng agama dan lainnya, itu benar! Tetapi tidak mutlak. Karena Friedman menyebutkan tidak diketemukan ateis yang diwawancarai menjadi ateis karena dipicu hal tersebut.

4). Dalam Islam mencari kesejahteraan dunia dianjurkan sebagai ibadah. Justru kefakiran yang membawa kekafiran. Kita buktikan lahirnya partai-partai penentang kapitalis, mayoritas adalah orang ateis. Islam hanya mewanti-wanti, jangan sampai teperdaya oleh harta, tahta dan wanita/pria.

5). Mungkin ada korelasinya Tuhan dipersepsikan pemimpin jahat layaknya pengalaman berpemerintahan para ateis yang dipimpin oleh diktator-diktator yang memimpin Negara semaunya sendiri. Mereka menumpuk ribuan triliun rupiah uang Negara tanpa dikontrol APBN-nya. Paling banter, rakyat digratis listrik dan bahan bakar sembari menonton mahligai para pemimpinnya.

6). Orang muak dengan pendakwah dari aparat pemerintah adalah hal yang lumrah. Karena kebanyakan pendakwah resmi menutupi kekurangan dan kesalahan pemerintahnya, dan terkadang kurang bersahabat dengan orang yang berseberangan.

7). Pikiran dari Muhammad Ramadhan tersebut, bisa jadi karena dia belum menemukan literasi tafsirnya yang luas. Jika dia membaca uraian Prof Sachiko Morata dalam The Tao of Islam, barangkali dia akan menyadari hal sebaliknya. Sungguh Tuhan Maha Kasih lagi Sayang. Silakan para pembaca nan budiman menyimpulkan! Wallaahu a’lam. (*)

Dr KH Muchotob Hamzah MM,

Penulis adalah ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah.

Comments