Oleh: Drs H Samsul Munir Amin MA
Siapa pun akan bersenang hati menyambut Lebaran, yang datang setiap tahun sekali. Apalagi anak-anak kecil, bahkan orang dewasa pun bersuka hati menyambut datangnya Idulfitri.
Mungkin, di antara yang merayakan Lebaran tersebut, ada yang tidak menunaikan puasa Ramadan. Yang terpenting mengenakan baju baru, perabotan baru, pokoknya serba baru.
Ya, sesungguhnya Lebaran seakan menjadi trade mark bangsa Indonesia, dalam menyambut datangnya kemenangan umat Islam setelah sebulan penuh melaksanakan puasa.
Tradisi Silaturahmi
Pada gilirannya, Lebaran melahirkan tradisi untuk saling meminta dan memberi maaf satu sama lain. Pada momentum Lebaran, seakan tidak ada orang yang merasa benar, semua orang mengungkapkan permohonan maaf atas kesalahan yang pernah diperbuat, baik sengaja maupun tidak disengaja.
Bersalam-salaman (musafahah) pun menjadi sesuatu yang niscaya. Maka saat Lebaran, orang akan mengulurkan tangan untuk meminta maaf, dan lainnya menyambut uluran tangan tersebut dengan penuh keridaan.
Sedang anak-anak muda, seakan “memiliki tradisi” sendiri dengan mengucapkan kalimat-kalimat gaul seperti: “Hai kawan, kosong-kosong, ya“. Ada yang berkirim sms dengan bahasa menggelitik: “Juminten nggelar kloso, dodol kupat ngarep gapura, meniko dinten riyoyo, menawi kulo lepat nyuwun ngapuro“. Ada lain lagi: “Maapin gue dong”, dan lainnya.
Namun yang lazim, anak-anak (yang lebih muda) akan sungkem di lutut seseorang yang dituakan, sambil mengucapkan permohonan maaf yang diucapkan sangat panjang. Dan yang disungkemi, membelai rambut yang sungkem.
Tradisi silaturahmi ini, adalah manifestasi dari ajaran Islam yang menjunjung humanisme dalam kehidupan bermasyarakat. Islam adalah universal religion of peace (agama perdamaian universal).
Tradisi bersalaman, misalnya, adalah realisasi dari sabda Rasulullah: “Tashafahu yuzhibul ghilla an qulubikum.” (Berjabat tanganlah kalian karena bersalaman akan menghilangkan unek-unek di hati kalian). Maka tradisi bersalaman adalah tradisi Islami, yang berdasar atas perintah Rasulullah. Hanya saja, tentu bersalaman antar-muhrim.
Akan halnya dengan tradisi silaturahmi, di mana setiap kaum muslimin pada saat Idulfitri membuka open house buat saudara-saudaranya, untuk penghapusan sebuah kesalahan, juga tradisi yang baik.
Mengapa? Karena kita tahu bahwa prototipe manusia Indonesia itu sulit untuk melupakan kesalahan yang diperbuat orang lain. Kesalahan sekecil apa pun akan terus diingat, bahkan akan dikenang sampai tujuh turunan. Dengan tradisi silaturahmi sewaktu Lebaran, suasana yang mengganjal karena kesalahan, dapat dihapus.
Selain bersalaman, di Jawa, Idulfitri juga menghadirkan kuliner yang memiliki makna simbolis nan filosofis, yakni kupat-lepet. Konon, Walisongo –ulama penyebar Islam di Jawa pada abad ke-14 hingga ke-15 M – membuat tradisi kupat lepet sebagai pengakuan atas kesalahan atau me-ngaku lepat (mengaku salah).
Sedang tradisi silaturahmi adalah manifestasi dari sabda Rasulullah: “Barangsiapa yang ingin dipanjangkan umurnya dan ingin dilapangkan rizkinya, maka sambunglah silaturahmi.” (Al-Hadits).
Haruskah Mudik?
Bagaimana dengan mudik Lebaran? Mudik Lebaran ini menjadi tradisi unik di Nusantara, yang bahkan tidak ditemukan di Arab Saudi, di mana Islam diturunkan. Mudik Lebaran itu tradisi khas Indonesia, termasuk halalbihalal.
Pertanyaannya, benarkah silaturrahmi harus secara langsung, secara fisik datang dan bertatap muka serta saling jabat tangan?
Afdhal-nya, memang demikian. Karena dengan bertemu langsung secara fisik, akan mendatangkan kebahagiaan tersendiri, yang mungkin telah berlama-lama tidak pernah bertemu langsung. Lebaran, saatnya bertemu. Atau mungkin Anda yang sudah tinggal di luar kota, tidak pernah pulang kampung, sehingga mementingkan untuk pulang kampung, yang kemudian dikenal dengan mudik.
Dengan mudik, memang hubungan silaturahmi menjadi erat, dan jika ini dilakukan dengan sebenar-benarnya dengan hati yang bening pada setiap individu, maka dapat meminimalisir gejolak kerusuhan dan disharmonisasi dalam masyarakat.
Akan tetapi sebaiknya silaturahmi itu dimulai dengan niat suci untuk memperkokoh ukhuwah (persaudaraan) dengan sesama. Dan perlu diingat, silaturahmi sebenarnya tidak harus selalu dengan berkunjung secara langsung ke rumah.
Jika tidak bisa berkunjung, seperti kenaikan BBM yang membubung tinggi, misalnya. Maka bisa dengan cara lain, seperti penggunaan perangkat komunikasi modern baik melalui melalui surat, telephone, sms, e-mail, atau kartu lebaran. Disamping komunikasi tetap terjalin, juga mengurangi kemacetan di jalanan.
Dengan demikian, setelah berpuasa Ramadan, hablun minallah (vertical relation) – dosa-dosa dengan Allah telah terhapus setelah seorang hamba sebulan penuh melaksanakan puasa. Dan setelah Lebaran, hablun minannas (human relation) – dosa-dosa kita dengan sesama juga dihapuskan melalui silaturahmi dan halalbihalal.
Melalui hal-hal di atas, interaksi seorang hamba dengan Tuhan sudah clear, dan interaksi dengan sesamu juga clear. Dengan kata lain, setiap muslim yang telah melakukan puasa secara imanan wa ihtisaban, benar-benar menjadi manusia suci kayaumi waladathu ummuhu (sebagaimana bayi yang baru dilahirkan dari rahim sang ibu); suci.
Bagaimana Mudik di Masa Pandemi?
Untuk menghindari menyebarnya virus corona yang tidak dikehendaki bersama, karena saat mudik kerumunan tidak terhindarkan, maka sebaiknya mudik dan silaturahmi dilakukan secara virtual saja. Ini untuk meredam mewabahnya virus corona.
Dikatakan para ulama ushul fiqih, bahwa menghindari mudarat itu lebih diutamakan ketimbang mencari kemaslahatan. Maka –dalam situasi seperti sekarang- mudik secara langsung tidak lebih baik (afdhal) daripada mudik secara virtual. (*)
Drs H Samsul Munir Amin MA,
Penulis adalah Wakil Rektor III pada Universitas Sains Al-Qur’an (Unsiq) Jawa Tengah di Wonosobo dan ketua Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Orda Wonosobo.