Oleh: Dr KH Muchotob Hamzah MM
Dengan adanya friksi tentang suksesi di Negara Madinah, strategi Abdullah Bin Saba’ Al-Yahud As-Shan’ani Al-Yamani (10 SH.s/d 50 H.) langsung menohok via jantung agama, yaitu teologi. Sehingga awal perpecahan dalam Islam justru soal politik. Ini berbeda dengan perpecahan di kalangan agama lain.
Akhirnya Negara Madinah yang berdasar “Kitaabun Nabiyy”=Piagam Madinah yang berpayung al-Quran, semakin memanas dengan isu politik. Taktik yang dipakai Ibnu Saba’ adalah mengkultuskan Khalifah Ali Bin Abi Talib dengan menyebut khalifah berupa ungkapan “Anta…Anta…Anta (maksudnya Engkau=Tuhan). Juga ia menyebut beliau sebagai Pencipta dan Pemberi rizqi” (Ibnu Badran, Tahdzib at-Tarikh ad-Dimasqy VII/430). Dan setelah syahidnya Ali sekalipun, Bin Saba’ memitoskan beliau tidak wafat (Abd. Thahir Bin Muhammad al-Baghdadi, Al-Farq Bain al-Firaq, hlm. 234).
Isu penuhanan kepada Imam Ali ini menjadi ide dasar ajaran kelompok Abdullah Bin Saba’, yang ditolak oleh Imam Ali dan para sahabatnya. Pengikut beliau seperti Miqdad, Salman al-Farisi, Bilal Bin Rabah, Abu Dzar al-Ghifari dan lainnya, melawan semua orang yang mengikuti ideologi ini.
Titik awal ideologi partai ini ketika zaman Nabi ada penunjukan Ali menjadi pemimpin Madinah ad interim pada perang Tabuk (9H./630 M.), yang ditafsirkan sementara sahabat sebagai sinyal penyerahan kekuasaan dari Nabi kepadanya kelak kemudian hari.
Demikian juga ditunjuknya Abu Bakar sebagai imam dalam salat jamaah oleh Nabi. Peristiwa imam jamaah ini pula yang dijadikan hujjah Umar Bin Khatthab di forum musyawarah Tsaqifah Bani Sa’idah untuk memilih Abu Bakar sebagai khalifah.
Sejatinya peristiwa yang menjadi embrio partai tersebut adalah merupakan hal alamiyah dari setiap kekuasaan manapun di dunia ini. Hanya saja jika lahirnya partai politik itu menetas pada ranah yang fundamental, yaitu teologi dan bukan fikih, konsekuensinya sangat dalam dan melebar. Karena dengan teologi yang mapan dari sebuah partai, daya juang, daya pukul dan daya tahannya akan lebih kuat. Maka jikalau dikendalikan oleh orang atau kelompok distruktif, daya hancurnya juga lebih kuat dan mematikan. Sebaliknya jika dikendalikan orang kuat yang bertakwa, berkahnya bisa melimpah ruah.
Perlu ditandaskan, bahwa kendati platfom politik Imam Ali sejak awal adalah status quo Ahlu Bait, tetapi memiliki perbedaan ideologi apalagi teologi dengan Bin Saba’ ini. Posisi partai-(nya) Abdullah Bin Saba’ justru mempersulit posisi beliau, karena mudah menjadi sasaran tembak dari lawan politiknya. Dilema yang terjadi mendorong lahirnya partai politik “Syiah” oleh para pendukung khalifah, yang platformnya mendukung Khalifah Ali dalam perang Shiffin (37 H.) dan sesudahnya.
Jadi Syiah bukan lahir di zaman Rasulullah sebagaimana klaim kebanyakan orang Syiah. Embrionya memang sudah lama ada, tetapi lahirnya di atas tanah baru bersamaan dengan partai Khawarij yang mentakfir sahabat yang terlibat tahkim khususnya Ali. Kemudian disusul oleh partai Sunni yang awalnya lebih cenderung ingin netral secara politik.
Perbedaan ideologi Ibnu Saba’ dan para pendiri Syiah bisa dirunut dari usaha dari Imam Ali untuk menghukum penyimpangan teologis dari Abdullah Bin Saba’. Sebelum wafat, Imam Ali telah banyak menghukum pengikut Abdullah Bin Saba’. Beliau diriwayatkan menghukum “bakar” Abdullah Bin Saba’, karena isu teologisnya penuh dengan takhayul, bid’ah dan khurafat. (Bukhari, 2794; Abu Dawud, 4351 dll.)
Versi lain menyebutkan, akhir hidup Abdullah Bin Saba’ yang setelah khalifah Ali bertekad membakar dia, kemudian beliau menggantinya dengan hukuman “buang” ke Madain Kisra (Ad-Dzahabi, Shidu an- Naba; Ibnu Taimiyah, Sharim al-Maslul jilid 3). Hal itu terjadi setelah ada masukan dari pendapat Sahabat Abdullah Bin Abbas. Wallaahu a’lam. (*)
Dr KH Muchotob Hamzah MM,
Penulis adalah ketua MUI Kabupaten Wonosobo.