Viralnya ceramah salah satu ustazah tentang martabat “perempuan” di medsos, hampir bersamaan dengan dilaunchingnya pengajuan “Keperkasaan Ratu Kalinyamat Jepara” sebagai Pahlawan Nasional.
Sungguh sangat menarik untuk kita jadikan “ibrah”, bahwa perempuan tidak tepat hanya kita jadikan “obyek”, tetapi justru semestinya perempuan menjadi “subyek” dalam tata kehidupan di dunia.
Maka buku yang diangkat dari hasil riset Kanjeng Ratu Kalinyamat Jepara, sangat menarik untuk baca dan pahami, sekaligus dianalisa lebih dalam, di mana Ratu Kalinyamat Jepara memiliki kemampuan “linuwih” baik secara fisik, pemikiran maupun pergerakan.
Ketangguhan fisik Kanjeng Ratu Kalinyamat Jepara, yang oleh intelektual portugis disebut sebagai “Rainha de Japora”, memiliki kekuatan tangguh melawan Penjajah Portugis di Malaka (1551), mengirimkan bala tentara ke Kerajaan Aceh menyerang Malaka (1568), dan membela bangsa Hitu melawan hegemoni Portugis (1564 – 1565). Sungguh sebuah Kekuatan seorang Perempuan Nusantara yang pilih tanding.
Kanjeng Ratu Kalinyamat Jepara memiliki kerangka pemikiran “Nasionalisme” yang kuat, di mana penguatan kewilayahan, yaitu Kerajaan Kalinyamat didesain sedemikian rupa, untuk tidak bisa dimasuki oleh penjajah Portugis, dengan mendirikan dan membangun pusat-pusat kekuatan syahbandar dan kemaritiman yang kuat.
Itu dalam rangka menangkal penjajah, dan menjamin terciptanya perdagangan internasional melalui “Syahbandar Jepara” yang aman dan nyaman, untuk disinggahi oleh para pedagang mancanegara.
Kondisi kondisi di atas, menjadikan pergerakan Kanjeng Ratu Kalinyamat Jepara tidak hanya pada penguatan serdadu militer, juga penguatan gerakan ekonomi perdagangan internasional, yang mampu memberikan kesejahteraan kepada masyarakat.
Kendati buku ini tidak membahas secara detil tentang “Kampung Kalinyamat” yang mempunyai tipologi pemberdayaan “cluster-cluster ekonomi” seperti halnya kampung kerajinan monel, pandean, tempat pembuatan makanan dan lainnya, namun setidaknya gambaran tentang bagaimana Ratu Kalinyamat mampu “menggetarkan” penjajah, khususnya Portugis, untuk tidak bisa “main main” dengan Rainha de Japora yang gagah perkasa.
Di sisi lain, buku ini kurang berani “menafsir” simbol ujaran seperti kata “tapa uda sinjang rikma” dalam ujaran yang berkembang di masyarakat, yang disadur oleh cerita-cerita dalam lakon pertunjukan kethoprak, di mana “tapa uda” pertama dimaknai telanjang tanpa sehelai pakaian pun.
Tapi jika kita pahami dengan makna “digit kedua”, “tapa uda” dimaknai sebagai ritual menyendiri, karena melaksanakan masa “iddah”, yang dibahasakan lidah Jawa menjadi “uda”, yaitu menyendiri atas alasan ditinggal meninggal dunia (wafat) oleh suaminya.
Jadi, sanepo tapa uda Kanjeng Ratu Kalinyamat adalah melakukan masa “iddah” di Istana Danaraja peninggalan Ratu Shima, atawa menyendiri karena ditinggal wafat oleh Kanjeng Sultan Hadlirin.
Namun yang pasti, kekuatan baru kita bersama sekarang, bahwa buku ini menjadi referensi baru tentang Ratu Kalinyamat, patut diapresiasi dan dibaca, untuk menjadi obor penyemangat dalam membangun Jepara ke depan.
Apresiasi setinggi-tingginya kepada Tim Penelusuran Sejarah Kanjeng Ratu Kalinyamat Jepara, yang telah susah payah menyuguhkan referensi berkualitas dan hasil riset yang sangat berharga ini. Semoga mereka diberi kesehatan dan kekuatan, untuk mengawal dan memperjuangkan Ratu Kalinyamat sebagai Pahlawan Nasional. (*)
H Hisyam Zamroni,
Penulis adalah kader Nahdlatul Ulama (NU) Jepara.