Merujuk pada pemikiran Peter F. Drucker, dewasa ini kita berada pada sebuah peradaban masyarakat baru, di mana masyarakat tidak lagi terdiri atas individu-individu atau kumpulan individu, tetapi didasarkan atas lembaga-lembaga menjadi sebuah organisasi.
Sebagai sebuah organisasi, Nahdlatul Ulama (NU) yang didirikan sejak 1926 ini, pendiriannya didasarkan atas gerakan pemberdayaan ekonomi, aktivitas pemikiran keagamaan dan pendidikan. Semuanya lalu menjadi satu barisan dalam naungan NU.
NU memiliki modal yang sangat besar, baik itu ditilik dari modal pendidikan, sosial, politik, ekonomi hingga budaya. NU memiliki basis material yang utuh, dibandingkan organisasi lain. Memiliki puluhan juta warga dari tingkat ranting hingga pusat, menjunjung tinggi solidaritas, gotong-royong, dan berpegang teguh pada tradisi.
Teguh pada tradisi ini juga menjadi salah satu kelebihan tersendiri. Sebab, tipikal masyarakat tradisional adalah memiliki mentalitas mandiri dan swadaya, kendati secara ekonomi masih bersifat subsistem.
Ikatan-ikatan sosio-kultural yang ada selama ini, juga terbukti telah mampu menopang kontinuitas perekonomian warga nahdliyin. Kemampuan mobilisasi potensi Sumber Daya Manusia (SDM) warga NU, akan menjadi pintu pendobrak dan menggerakkan membuka akses ke berbagai sektor kepentingan: akses pasar, politik, dan ekonomi.
Melalui jajaran struktural NU, semestinya kekuatan politik ini dapat mendistribusikan kader-kader NU dalam berbagai ruang, sekaligus mengikat mereka dalam kepentingan membangun jam’iyyah NU. Itu ditopang oleh besarnya potensi ekonomi di tubuh NU, baik yang bergerak di sektor Usaha Kecil Menengah (UKM) dan lainnya.
Ekonomi Kebangsaan
Secara logika maupun konsepsional, NU memiliki kemampuan untuk menggerakkan ekonomi kebangsaan, berpijak pada prinsip ekonomi yang berlandaskan pada semangat keadilan ekonomi berdasarkan Pancasila.
Keadilan ekonomi dimaksud di sini, yaitu adanya distribusi ekonomi yang merata dalam lapisan masyarakat, termasuk dalam lapisan NU. Agar roda ekonomi tidak terjadi ketimpangan dalam masyarakat, maka kepentingan individu harus diselaraskan dengan kepentingan jama’ah.
Keberadaan minoritas NU dengan kapital besar yang dimiliki, mestinya juga harus mampu memberdayakan kelompok mustazhafin, termasuk harus mampu menciptakan kreasi dan inovasi agar penduduk desa, khususnya warga nahdliyin, tidak ‘hijrah’ ke kota-kota besar, sehingga tetap dapat membangun desa dan memberdayakan jama’ah dan jam’iyyah NU.
Ini tentu menjadi tantangan besar bagi NU, khususnya yang berada di struktural. Akan tetapi, itu semua bukan hal yang tidak mungkin diwujudkan. Sebab, dalam pengembangan ekonomi, NU sebenarnya tidak berangkat dari nol, karena sudah ada beberapa potensi yang bisa digarap dan dikembangkan.
Pertama, Sumber Daya Manusia (SDM). Banyak warga NU yang menjadi pelaku usaha, baik sebagai produsen maupun distributor. Pasar NU juga sangat besar, sehingga bisa menjadi peluang yang sangat potensial.
Kedua, banyak lembaga yang dimiliki. NU memiliki aset luar biasa besar, mulai dari sekolah (madrasah), pondok pesantren, perguruan tinggi, klinik kesehatan hingga rumah sakit yang bertebaran di berbagai kota di Nusantara.
Ketiga, maksimalisasi berbagai potensi yang ada. Ya, inilah kata kunci yang mesti menjadi perhatian warga NU, khususnya yang berada di struktural. Maksimalisasi berbagai potensi yang dimiliki NU menjadi penting, karena dengan itulah, perekonomian warga nahdlyin bisa ditingkatkan dan bergerak menuju arah kemajuan. Wallahu a’lam. (*)
Dr. H. Mochamad Edris MM.
(Ketua Lembaga Perekonomian Nahdlatul Ulama Kudus & Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Muria Kudus)