
Oleh: Muhammad Farid
KH. Raden Asnawi merupakan salah satu ulama dengan karakter nasionalisme dan kebangsaan yang kuat. Salah satu jalan dakwahnya yaitu membuat sya’ir-sya’ir berbahasa arab maupun jawa-melayu yang berisikan sholawat, nasihat kehidupan sekaligus doa dan semangat cinta tanah air.
Kualitas KH. Raden Asnawi di bidang agama dan organisasi terbilang mumpuni. Itu dibuktikan dengan masuknya beliau dalam jajaran mustasyar PBNU pada masa awal pendirian.
Nama kecil KH. Raden Asnawi adalah Raden Ahmad Syamsyi. Ia lahir pada kisaran tahun 1861 M di Damaran Kudus dari pasangan H. Abdullah Husnin dan Raden Sarbinan. H. Abdullah Husnin sendiri adalah seorang pengusaha konveksi pakaian yang acapkali keluar daerah untuk berdagang.
Meski begitu H. Abdullah Husnin tetap menyempatkan waktu untuk mendidik putranya sejak dini. Al-Qur’an menjadi pembelajaran pertama yang ditekankan H. Husnin kepada R. Ahmad Syamsi. Pada usia 15 tahun R. Ahmad Syamsi dibawa oleh H. Husnin ke Tulungagung, Jawa Timur.
Selama di Tulungagung H. Husnin mengajari anaknya itu untuk berdagang mulai pagi hingga siang. Lalu mulai sore hingga malam harinya R. Ahmad Syamsi diikutkan untuk mengaji di Pondok Pesantren Mangunsari Tulungagung.
R. Ahmad Syamsi belajar berdagang sekaligus mendalami ilmu agama. Hal itu sebab keinginan orang tuanya agar putranya kelak menjadi orang saleh yang alim dalam ilmu dan pengalaman, bijak dalam laku dan tindakan, mandiri serta kecukupan dan tidak berpangku tangan kepada liyan.
Perjuangan menegakkan Islam oleh KH. Raden Asnawi selalu didasari dengan prinsip yang teguh dan beretika. Kendati terkenal sebagai ulama yang alim dan memiliki jaringan yang luas, KH. Raden Asnawi memilih untuk tinggal di desa dan ngemong (mengasuh) masyarakat dengan sungguh-sungguh.
Pada masa itu gerakan puritanisme Islam juga modernisasi yang dibawa oleh kaum non-pribumi mulai gencar ditebarkan. Hal itu lah yang membuat para kiai bersepakat dalam konsesus ulama di Jawa Timur untuk menjaga masyarakat dari paham baru yang ingin menghapus tradisi dengan dalih bid’ah.
Sebagai ulama yang dipandang senior pada waktu itu, kiprah KH. Raden Asnawi lebih banyak bertindak sebagai pengatur strategi dan penasehat. Disamping itu untuk ngerumat masyarakat KH. Raden Asnawi menggubah beberapa nasehat dan doa menjadi sebuah syi’ir yang enak didengar dan dikumandangkan.
Seperti halnya dalam Sholawat Asnawiyah KH. Raden Asnawi secara jelas memasukkan kalimat “Indonesia Raya Aman” sebagai salah satu doa yang hendaknya terus dikumandangkan oleh setiap warga negara. Lalu juga dalam Syi’ir Kemerdekaan ada nama Irian Jaya dan sekitarnya yang dikatakan telah berhasil direbut dari tangan penjajah.

Ada yang unik dari setiap sya’ir kebangsaan karya KH. Raden Asnawi. Yaitu ketika menulis “Indonesia” tidak mau memakai kasrah tetapi dhammah jadi “Undunusia”. Sebagaimana yang diungkapkan oleh KH. Nadjib Hasan, Ketua Yayasan Masjid Menara dan Makam Sunan Kudus (YM3SK), alasan beliau menulis begitu karena jika Indonesia ditulis memakai “I” atau kasrah, terkesan rendah karena posisinya selalu dibawah.
Sebab itu lah pada kalimat “Indonesia Raya Aman” dalam Sholawat Asnawiyah, KH. Raden Asnawi menambahnya dengan huruf “ba” menjadi “Bindunesia Raya Aman”. Artinya dengan Indonesia Raya yang aman.
Banyak syair lain yang belum tergarap dan mungkin belum diketahui masyarakat secara luas. Seperti halnya syi’ir kebahagiaan beliau sewaktu menerima kunjungan Bung Karno ke Kota Kudus pada era kepemimpinan Bupati Raden Subarkah (1945-1946).
Menurut sejarahnya waktu itu KH. Raden Asnawi juga turut memberikan sambutan kemudian menuliskan sya’ir yang isinya memuji keberhasilan Presiden Sukarno dalam memproklamirkan Indonesia.
Muhammad Farid,
Adalah redaktur Suaranahdliyin.com. Alumnus MA NU Miftahul Falah Cendono, ini merampungkan Studi S-1 di IAIN Kudus. Tulisan ini disarikan dari papernya berjudul ‘’Reinventing Edu-Religion Budaya Syi’iran Santri’’ untuk Muktamar Pemikiran Santri Kemenag RI Tahun 2018.