Islam dalam memandang sosial dan kekeluargaan, memang patut diacungi jempol. Islam juga memandang positif adat istiadat untuk menyebarkan syariatnya, selama di dalamnya tidak ada pelanggaran syara’. Indonesia yang kaya akan adat istiadat, tak jarang mengolabrisakan adat dengan syari’at Islam. Seperti tahlilan, peringatan malam ‘Asyura, Rebo Wekasan, dan lainnya.
Demikian juga dengan halalbihalal, yang sudah menjadi tradisi warga Indonesia saat Idulfitri. Halalbihalal sendiri tidak ditemukan nash dalam al-Quran maupun hadis, bahkan istilah itu juga tidak digunakan oleh orang Arab (walaupun berbahasa Arab). Sebab term halalbihalal diejawentahkan oleh ulama Indonesia sendiri.
Sejarah mencatat, bahwa halalbihalal pertama kali dicetuskan oleh KH Wahab Chasbullah pada 1948, di pertengahan Ramadan. Bung Karno memanggil KH Wahab Chasbullah ke Istana Negara, untuk dimintai pendapat dan saran guna mengatasi situasi politik Indonesia yang tidak sehat kala itu.
Kemudian Kiai Wahab memberi saran kepada Bung Karno untuk menyelenggarakan silaturahim, sebab sebentar lagi Idulfitri. Lalu Bung Karno menjawab: “Silaturahim, kan, biasa. Saya ingin istilah yang lain”.
“Itu gampang,” kata Kiai Wahab. “Begini. Para elit politik tidak mau bersatu, itu karena mereka saling menyalahkan. Saling menyalahkan itu kan dosa. Dosa itu haram. Supaya mereka tidak punya dosa (haram), maka harus dihalalkan. Mereka harus duduk dalam satu meja untuk saling memaafkan, saling menghalalkan. Sehingga silaturahim nanti kita pakai istilah halalbihalal,” kata Kiai Wahab.
Dari saran Kiai Wahab itulah, Bung Karno, pada momentum Idulfitri, mengundang semua tokoh politik untuk datang ke Istana Negara, guna menghadiri silaturahim yang “diberi judul” halalbihalal. Akhirnya mereka bisa duduk dalam satu meja, sebagai babak baru menyusun kekuatan dan persatuan bangsa. Sejak itulah, istilah halalbihalal -gagasan Kiai Wahab- lekat dengan tradisi bangsa Indonesia pasca Lebaran hingga kini.
Didalam halalbihalal sendiri, setidaknya mengandung beberapa unsur islami. Pertama, sebagai tali silaturahim antarmuslim. Sebagaimana sabda Rasulullah ﷺ yang menganjurkan silaturrahim:
من كان يؤمن بالله واليوم الأخر فليصل رحمه
“Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaknya menyambung silaturrahimnya. “
Walaupun kewajiban bersilaturahim tidak tepojok saat hari raya, namun setidaknya hari raya adalah waktu yang tepat untuk bersilaturahim dan mengeratkan kembali ikatan kekeluargaan.
Kedua, momentum saling memaafkan. Dalam riwayat Sayyidina Jabir Radliyallahu ‘anhu disebutkan:
أنَّ النَّبيَّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم رقِي المنبرَ ، فلمَّا رقِي الدَّرجةَ الأولَى ، قال : آمين ، ثمَّ رقِي الثَّانيةَ ، فقال : آمين ، ثمَّ رقِي الثَّالثةَ فقال : آمين ، فقالوا : يا رسولَ اللهِ ! سمِعناك تقولُ آمين ثلاثَ مرَّاتٍ ، قال : لمَّا رقِيتُ الدَّرجةَ الأولَى جاءني جبريلُ فقال : شَقِي عبدٌ أدرك رمضانَ فانسلخ منه ولم يُغفرْ له فقلتُ : آمين ، ثمَّ قال : شَقِي عبدٌ أدرك والدَيْه أو أحدَهما فلم يُدخِلاه الجنَّةَ فقلتُ آمين ، ثمَّ قال : شَقِي عبدٌ ذُكِرتَ عنده فلم يُصلِّ عليك فقلتُ : آمين
“Suatu saat Nabi Muhammad ﷺ naik ke atas mimbar. Ketika menaiki tangga pertama Baginda mengucap “amin”. Kemudian menaiki tangga kedua, mengucap “amin”. Kemudian menaiki tangga ketiga, mengucap “amin” (lagi). Para Sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, kami mendengar engkau mengucap amin tiga kali.” Baginda Rasul menjawab, “Ketika aku menaiki tangga pertama Malaikat Jibril mendatangiku dan berkata, “Celakalah orang yang mendapati Ramadan yang penuh berkah, tetapi tidak mendapatkan ampunan.” Aku pun mengamininya. Kemudian malaikat Jibril berkata (saat Rasulullah ﷺ menaiki tangga kedua), “Celakalah orang yang mendapati ibu dan bapaknya yang renta atau salah satu dari keduanya, tetapi keduanya tidak menyebabkan orang itu masuk surga.” Akupun mengamininya. Kemudian Malaikat Jibril berkata (saat Rasulullah ﷺ menaiki tangga ketiga), “Celakalah orang yang bila namamu disebut, dia tidak bershalawat kepadamu.” Akupun mengamininya. “
Dari hadis itu, saat halalbihalal seseorang saling memaafkan. Ucapan “mohon maaf lahir batin” tidak lain hanya untuk mencari rida dan ikhlas atas kesalahan yang telah diperbuat.
Ketiga, momentum saling mendoakan. Mendoakan sesama akan kebaikan adalah perintah agama. Jika mau menengok sejarah, para Sahabat Nabi saling memberikan ucapan selamat (tahni’ah) saat Idulfitri, sebab telah berhasil menyelesaikan puasa selama Ramadan penuh. Bunyi bacaan selamat itu adalah “taqabbalallaahu minnaa wa minkum”. Ada yang menambah dengan “taqabbal yaa kariim, wa ja’alanaallaahu wa iyyaakum minal ‘aaidiin wal faaiziin”. Ada pula yang masih menambah dengan “wal maqbuulin kullu ‘ammin wa antum bi khair”. Itu semua berlanjut dan bervariasi di berbagai daerah.
Kalimat “minal ‘aidin wal fa’izin” yang sering diucapkan warga Indonesia, adalah potongan dari tahni’ah tersebut:
تقبل الله منا ومنكم تقبل يا كريم وجعلنا الله وإياكم من العائدين والفائزين والمقبولين كل عام وأنتم بخير
Namun orang Indonesia selalu meringkasnya menjadi “minal ‘aidin wal faizin“. Walaupun dalam segi makna lebih tepat menggunakan lafal “Taqabbalallahu minna waminkum” yang berarti “Semoga Allah menerima -amal- kita dan kalian semua“, namun kalimat yang sering dipakai orang Indonesia tidak bisa dikatakan salah. Dari segi makna, kalimat ini mengandung arti “Termasuk orang-orang yang kembali dan orang-orang yang menang“, dan mengandung unsur doa di dalamnya.
Itulah indahnya adat Indonesia. Mereka sering memakai istilah-istilah yang khas Indonesia, tetapi jika mau menelaah secara mendalam, istilah-istilah itu ternyata terkandung makna yang sesuai dengan syari’at. Wallahu a’lam. (*)
M Basuni Baihaqi,
Penulis adalah alumnus MA NU Tasywiquth Thullab Salafiyah (TBS) Kudus. Saat ini sedang menempuh studi di Universitas Imam Syafiie, Hadramaut, Yaman.