Nusantara memang fenomenal. Para pemangku agama di Nusantara, memiliki kecerdasan luar biasa dalam memahami teks – teks (dalil) yang tidak hanya dimaknai secara tekstual dan kontekstual, tetapi lebih jauh dari itu semua, dimaknai dan dipahami menjadi sebuah tradisi budaya.
Salah satu contohnya adalah dalam memaknai sebuah hadis Nabi tentang kegembiraan menjelang dan menyambut datangnya bulan suci (Ramadan); “Man fariha bidukhuli ramadhan, harramallahu jasadahu alan-niiran”.
Kata “fariha” kebanyakan orang (umat Islam, red) memaknainya secara tekstual, yang berarti “senang, cerah, ceria, atau bahagia”. Ini berbeda halnya makna yang dielaborasi oleh para pendahulu kita.
Para pendahulu kita memaknai kata “fariha” menjadi sangat fenomenal, mencerahkan dan inspiratif yaitu cerah, ceria, dan bahagia” secara komunal atawa bersama-sama yang kemudian membentuk sebuah tradisi budaya menjelang dan menyambut Ramadan, yang bisa berbeda-beda antara satu daerah dengan lainnya.
Di Kabupaten Kudus, misalnya, elaborasi akan hadis tersebut “menghasilkan” tradisi “dhandangan”. Di Kota Semarang ada tradisi “dugderan”, dan tradisi lain yang sangat beragam di berbagai kota dalam menyambut Ramadan.
Dengan kata lain bisa dikatakan, bahwa elaborasi seperti itu merupakan sebuah “kecerdasan” yang mumpuni, baik secara pribadi, sosial sekaligus budaya bagi pencetusnya, karena makna dan pemahaman itu tidak hanya dinikmati oleh diri sendiri, melainkan dinikmati pula oleh semua orang baik yang “sungguh – sungguh” ber-Ramadan maupun yang “dangdangtek”, bahkan dikut dinikmati juga oleh warga lintas agama. Menakjubkan, bukan?
Nah, kita yang hidup di zaman sekarang yang “cekak” ilmu, bersosial dan berbudaya yang merasa memiliki “teks dalil ” tanpa mampu memahami “makna teks dalil” yang “muqtadhol maqam wal hal”, dengan “engkeknya” mengatakan: dugderan bidengah, dhandangan bidengah dan sejenisnya .
Padahal beragam tradisi menyambut Ramadan seperti dhandangan dan dugderan, adalah sebuah kemampuan dan kecerdasan dalam memaknai dan memahami teks (dalil) yang tidak hanya fenomenal, melainkan juga mencerahkan dan inspiratif. (*)
H Hisyam Zamroni,
Penulis adalah salah satu pengurus PCNU Kabupaten Jepara.