
BOYOLALI, Suaranahdliyin.com – Pengasuh Pesantren Kiai Mojo Jombang, Jawa Timur, KH Imron Jamil, menyatakan, thariqah itu sebenarnya hanya menerima ijazah yang menyambungkan riwayat tahlilnya, la ilaha illallah.
“Itulah salah satu kemudahan dari Allah, yaitu tersambung ke kebenaran tauhid lewat jalan yang disediakan ulama (mursyid/guru) sampai sekarang,” tuturnya.
Kiai Imron mengutarakan hal itu dalam Haul Masyayikh dan Khataman Suluk Naqsabandiyah Khalidiyah di Pesantren Darussalam Bandung, Kecamatan Wonosegoro, Kabupaten Boyolali, Rabu (17/7/2024) lalu.
Disampaikan oleh Kiai Imron, bahwa orang yang tidak mempunyai mursyid atau tidak punya silsilah dalam thariqah itu akan ada sejumlah mudarat mengepungnya yang sulit diatasi.
Dalam pandangannya, paling tidak ada 4 mudarat yang mengepung dan menghalangi amal ibadah manusia.
Pertama, punya teman yang bertabrakan keinginan atau memunculkan tindakan kebalikan. Ada yang mengajak ibadah pun juga ada yang mengajak sebaliknya.
“Ada teman yang mengajak (salat) jamaah, ada yang mengajak ke warung, mengajak main, dan seterusnya. Mau tidak mau manusia berkumpul dengan (keadaan) kebalikan dari ibadah,” ujarnya.
Menurutnya, harus ada teori pertarungan untuk menanggulanginya. Maka salah satu yang bisa membantu adalah dengan mempunyai guru dan teman yang bisa menuntun.
“Dalam thariqah itu yang berperan ialah mursyid yang menuntun. Sedang murid itu yang dituntun,” lanjut Kiai Imron menambahkan.
Kedua, sering terperangkap kebiasaan yang sulit dihindari. Yakni terkungkung kebiasaan yang kebalikan dari perintah Allah.
Ketiga, tunduk kepada hawa nafsu. Seperti hawa nafsu amarah dan serakah. Jika nafsu sudah menguasai manusia dirombak sulit sekali.
“Itu harus dimujahadahi, diperangi. Yang membantu menyusun caranya (memerangi) itu gurunya,” ujarnya.
Godaan keempat, lanjut Kiai Imron, manusia merasa ayem dan tenang jika sudah menghadapi yang terlihat mata. Padahal rukun iman itu barang gaib, tidak terlihat mata atau tidak terpancaindra.
“Orang yang terkungkung sacara indra itu mengalami keterbatasan yang sangat sempit. Panca indra itu penyerap realitas tapi tidak bisa komplit karena pasti satu-satu. Yang bisa merangkum adalah akal,” jelasnya.
Kiai Imron menambahkan, akal juga terbatas. Satu satunya kemudahan entah akal paham atau tidak, entah mata melihat atau tidak, ialah percaya pada yang membuat. Itu dinamakan iman.
“Maka kita dibelajari di pondok dilatih di thariqah dalam rangka memperluas jangkauan kenikmatan yang disediakan Allah yang tidak ada batasnya,” jelasnya.
Kiai Imron menegaskan, rahmat Allah itu luas dan alat untuk menyerapnya namanya ayat atau indikator kenikmatan. “Yang bisa menerima hanya dua orang, yakni ahli dzikir dan ahli mikir,” tuturnya. (siswanto ar/ ros, adb)