PP IKSAB TBS Ambil Peran Sosialisasikan Vaksin Covid-19

0
1010
Webinar Teologi Vaksinasi Covid-19: Antara Keyakinan dan Keraguan yang digelar PP IKSAB TBS Kudus, belum lama ini

JAKARTA, Suaranahdliyin.com – Pada Jum’at (12/3/2021) lalu, Pengurus Pusat Ikatan Siswa Abiturien TBS Kudus (PP IKSAB TBS Kudus) menyelenggarakan webinar bertajuk “Teologi Vaksinasi Covid-19: Antara Keyakinan dan Keraguan”.

Webinar tersebut mengulas perihal vaksinasi Covid-19 dari segala aspek, mulai dari perspektif kesehatan, pendidikan, sosial dan keagamaan.

M Rikza Muqtada, panitia kegiatan, menyampaikan, webinar ini adalah untuk menjelaskan secara komprehenshif perihal vaksin Covid-19, memberikan rasa yakin kepada masyarakat tentang program vaksinasi Covid-19, serta membantu pemerintah terkait sosialisasi dan mengedukasi masyarakat terkait vaksin covid-19.

“Alhamdulillah peserta yang mendaftar melalui google form sebanyak 140 peserta, terdiri dari sembilan provinsi dan 35 Kabupaten/Kota. Webinar disiarkan live streaming melalui TBS Kudus TV channel, TV NU serta TV NU via FB live, dan sudah ditonton lebih dari 1000 orang,” terang M Rikza Muqtada, dosen IAIN Kudus.

Ketua PP IKSAB TBS Kudus, H M Haidar Ulinnuha mengapresiasi panitia atas usahanya menyelenggarakan webinar, dengan menggandeng berbagai pihak untuk terlibat dan menjadi narasumber. “Ini menjadi penanda hadirnya IKSAB TBS Kudus dalam peran sertanya mengedukasi masyarakat terkait vaksin Covid-19,” ujarnya.

Prof Dr KH Ahmad Rofiq MA (penasihat PP IKSAB TBS dan Guru Besar Hukum Islam UIN Walisongo) didaulat menjadi  keynote speaker pada kesempatan itu dan dipandu oleh Dr KH Arif Chasanul Muna MA (Koordinator Divisi Penguatan Aswaja PP IKSAB yang juga dosen IAIN Pekalonga).

Sedang narasumber webinar terdiri atas Dr KH Akhmad Shunhaji MA (Ketua Ikatan Alumni Qudsiyyah/ IKAQ Jabodetabek – Jawa Barat), Ala’i Najib MA (Pengurus Pusat HIMMAHKU/ Alumni Madrasah Mu’allimat), Apt Ahmad Syafi’i S.Far MARS (Wakil Sekretaris PP IKSAB TBS) dan dr Hj Falikhatul Ibriza (Pengurus FORSIKABANU/ alumni Banat NU Kudus).

Prof Ahmad Rofiq, mengutarakan, bahwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam  menetapkan fatwa MUI Nomor: 2/2021 tentang Vaksin Sinovac, menggunakan standar yang sangat hati-hati, baik dari sisi keamanan dan thayyib bagi manusia, baru kemudian ditetapkan kehalalannya.

“Sebelum itu, Tim MUI melakukan audit lapangan di China, tempat vaksin tersebut diproduksi. Selain itu, para ahli yang memiliki kompetensi dalam bidang vaksin, juga dilibatkan dalam proses dan pembahasan fatwa. Pasalnya, umat Islam dan bangsa Indonesia, (berkepentingan terhadap vaksin, red) dalam rangka ikhtiar preventif. Vaksinasi tidak perlu ragu mengikuti vaksinasi, yang dilakukan secara bertahap,” tegasnya.

Alai’i Najib, pada kesempatan itu mengemukakan survei Jeanet Bentzen di 95 negara hingga akhir Maret 2020, pencarian kata doa (prayer) dengan google search, menunjukkan, bahwa mereka berdoa agar wabah ini segera selesai.

“95 negara ini menunjukkan lebih dari separuh penduduk bumi. Penerimaan terhadap vaksin pun beragam, ada yang menerima dan ada yang menolak. Yang menolak menyatakan, ini sebuah konspirasi, kendati tetap mengakui semua orang terkena dampaknya,” jelasnya.

Namun fenomena ini juga menjadikan manusia melakukan refleksi diri, bahwa di balik pandemi, ada kuasa Tuhan. “Sehingga cara yang ampuh adalah dengan berdoa, agar pandemi segera berakhir, selain tentu harus tetap melakukan ikhtiar lahiriyah, baik dengan melakukan vaksinasi maupun mematuhi protokol kesehatan,” ujarnya.

Dr KH Shunhaji, mengemukakan, bahwa pandemi Covid-19 ini telah merubah tatanan pendidikan dari yang mulanya offline, menjadi online. “Wali murid berharap, agar pembelajaran tatap muka diperbolehkan, karena online tentu ada kelebihan kekurangannya,” ungkapnya.

Sedang terkait vaksin Covid-19, menurutnya menjadi bagian yang harus dipenuhi, agar (segera) terwujud pembelajaran offline. “Maka dosen, tenaga pengajar, termasuk yang menjadi prioritas memeroleh vaksin,’ terang pengurus IKAQ Jabodetabek – Jawa Barat itu.

Ahmad Syafi’i, menyampaikan, ada dua standar yang digunakan untuk mengukur manfaat vaksin, yaitu efikasi dan efektivitas. Efikasi yaitu kemampuan vaksin dalam mencegah penyakit dan menekan penularan pada individu pada skala uji klinis fase ketiga. Didapatkan, data efikasi 65,3%, artinya dengan adanya kelompok yang divaksin misalnya satu juta penduduk, maka dapat menurunkan angka kasus Covid-19 sebesar 653.000.

“Dengan efikasi sebesar 65,3%, maka Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI, telah memberikan persetujuan izin penggunaan darurat atau Emergency Use Authorization (EUA), dan jaminan keamanan (safety), mutu (quality), dan kemanjuran (efficacy) bagi vaksin Covid-19 produksi Sinovac Life Sciences Co.Ltd. China dan PT. Bio Farma (Persero). Dengan kata lain, vaksin itu telah memenuhi syarat yang ditetapkan oleh WHO di atas 50%,” terangnya.

Sedang dokter Falihatul Ibriza, mengatakan, urgensi vaksinasi adalah memberikan kekebalan  spesifik terhadap penyakit  tertentu. “Selain itu, untuk proteksi silang. Artinya, orang yang tidak divaksin ini mendapatkan manfaat perlindungan melalui kekebalan kelompok (herd Immunity), yang ditimbulkan dari cakupan vaksin yang tinggi dan merata. Standarnya, 70% penduduk Indonesia sudah divaksin (182 juta),” katanya. (mail, ros, gie, luh/ adb, rid)

Comments