Pesan Kehidupan dalam Pementasan “Surat untuk A”

0
1571
Salah satu adegan dalam pementasan ”Surat untuk A” oleh TEASA MA Salafiyah Kajen.

PATI, Suaranahdliyin.com – Teater Aliyah Salafiyah (TEASA) kembali menggelar pementasan teater di Aula MA Salafiyah Kajen, Pati pada Rabu (2/5/2019) malam lalu.. Pementasan kali ini mengusung naskah dengan lakon “Surat untuk A” karya Siwigustin.

Ada yang menarik. Sebelum pementasan, diawali terlebih dahulu dengan penampilan grup rebana Zidni Ilma, disusul pembacaan puisi oleh beberapa dewan guru dan peserta didik MA. Salafiyah Kajen. Penonton nampak antusias menyimak jalannya pementasan.

Arif Khilwa, pembina TEASA sekaligus sutradara, mengutarakan, pentasan ini selain untuk memperingati Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas), juga sebagai ikhtiar menggelar pementasan secara rutin.

“TEASA selalu mengagendakan minimal menggelar dua kali pementasan selama setahun, yakni pada semester gasal dan semester genap. Penyajiinya bergantian antara TEASA putra dan TEASA Putri,” terangnya.

Pemilihan naskah ‘’Surat untuk A’’ sendiri, sebagai proses perenungan bersama dalam memeringati Hardiknas. Naskah ini menyeritakan tentang berbagai konflik dalam kehidupan, yang terlihat dari kegegelisahan ibu-ibu manula, akibat kehilangan sesuatu yang berharga dalam hidupnya di masa lalu. Mereka kini diasuh oleh keponakannya. Berbagai permasalahan beragam pun dirasakan. Ana, keponakan, dengan iklas merawat dengan sabar para bibinya itu.

Cerita ini menarik, ketika terungkap berbagai fakta, di antaranya pengakuan Ana yang telah rela merawat dengan baik para manula itu, karena dia merasa bersalah kepada almarhum kedua orang tuanya. Saat orang tuanya meninggal dunia, dia belum sempat berbakti dan memohon maaf kepadanya.

Perasaan kehilangan nampak jelas dari para ibu-ibu tua itu. Kesuma, perempuan tua setengah gila. Setiap hari menunggu anak keduanya, datang menemuinya. Sedangkan anak pertamanya yang telah sukses, tak pernah menengoknya. Ia mengaggap anak keduanya masih hidup, padahal sudah mati: bunuh diri. Lantaran tertekan oleh keinginan ibunya agar anaknya selalu mendapatkan peringkat terbaik di sekolah seperti kakaknya.

Lain dengan Nanik, adik Kesuma. Ia tak memiliki anak. Suaminya pun pergi meninggalkannya. Dan masih banyak lagi problem yang muncul, yang merupakan penggambaran realitas sosial kekinian.

Endingnya, datang seorang manula bersama dengan putri dan cucunya, memohon tinggal bersama Ana. Ia merasa tidak diperhatikan oleh anaknya, yang sibuk lantaran menjabat kepala dinas sosial. Sementara cucunya, sibuk dengan berbagai les yang dilakukan sepulang sekolah.

“Banyak pesan moral yang bisa dimabil dalam pementasan ini, baik sebagai anak maupun orang tua. Konflik dalam rumah tangga, hingga gesekan antargenerasi dalam hubungan orang tua (ibu) dan anak yang seringkali tak bisa dihindari. Ini mengingatkan kepada kita betapa pentingnya sikap bijak dalam mejalani hidup,’’ tutur Arif Khilwa. (rid, mail, luh, lam, gie/ adb, ros)

Comments