KUDUS, Suaranahdliyin.com – Folklor di tengah masyarakat, mengandung banyak nilai luhur untuk diwariskan anak cucu (generasi penerus). Supaya tetap relevan dengan perkembangan zaman, folklor dialihwahanakan dalam berbagai karya.
Pengalihwahanaan folklor menjadi beragam bentuk, bertujuan agar tetap diterima oleh anak muda dan masyarakat. Kini, pengenalan folklor tak melulu lewat cerita tutur dari mulut ke mulut, juga bisa dimanifestasikan dalam beragam media seperti film (gambar hidup), seni pertunjukan, seni rupa, teater, seni tari dan lainnya.
Kawasan Muria masih menyimpan banyak folklor yang belum tersampaikan secara tepat ke masyarakat. Kampung Budaya Piji Wetan Kudus mulai menjajaki visualisasi digital dalam penyebarluasan folklor.
Visualisasi digital folklor yang dilakukan diharapkan tidak mengurangi nilai atau makna dari folklor yang diangkat. Memvisualkan folklor menjadi media asyik yang menghibur tentu menjadi menarik bagi generasi muda yang sangat familiar dengan teknologi.
Tahun ini, Kampung Budaya Piji Wetan Kudus mulai menjajaki alihmedia folklor yang ada di Kabupaten Kudus. Pada tahap pertama, komunitas kreatif berbasis budaya itu melakukan riset dan aktivasi empat punden dan belik di Piji Wetan.
“Kami mulai mengaktivasi tiga belik dan satu punden di Piji Wetan, kemudian nanti akan merambah ke Lau dan wilayah Kudus,” ungkap Zaini selaku Koordinator Kampung Budaya Piji Wetan, Jumat (5/5).
Empat folklor yang digarap tersebut antara lain punden Depok, belik atau sendang ngecis, sendang kamulyan dan sendang serut. Keempat petilasan tersebut tentu mempunyai cerita rakyat yang bersinggungan dengan Kanjeng Sunan Muria.
Dalam mengkaji folklor kemuriaan, Zaini berpendapat bahwa mitos dan lokalitas harus dirawat agar tetap diterima oleh generasi penerus. Folklor yang dikemas secara menarik dan inovatif diyakini akan lebih mudah dipahami maknanya dan nilai-nilainya oleh anak muda.
Apalagi, kata dia, masifnya perkembangan teknologi juga bisa dimanfaatkan untuk melakukan rekonstruksi budaya dan cerita rakyat yang salah kaprah menyebar di masyarakat. Kisah-kisah dan cerita rakyat yang divisualisasikan lebih menarik diharapkan dapat menjadi pembelajaran penanaman nilai-nilai karakter ke semua kalangan.
“Hal ini tentu memudahkan masyarakat dalam memahami folklor, sehingga nilai-nilai yang diharapkan akan tersampaikan dengan baik. Bisa jadi, ini menjadi arus media baru bagi folklor agar relevan di setiap zaman,” terangnya.
Sebagai langkah lanjutan, pihaknya mengajak para sineas muda, pelajar, mahasiswa hingga masyarakat umum untuk mengeksplorasi kekayaan intelektual maupun budaya baik itu cerita rakyat, mitos situs, ritus olahraga tradisional hingga kuliner lokalnya menjadi film berbasis kemuriaan.
Semangat itu terwadahi dalam satu agenda bertajuk Muria Culture Camp 2023 (MCC 2023) yang akan dilaksanakan pada 03 s.d. 04 Juni 2023. Diharapkan, dari program tersebut, tercipta film-film berbasis folklor yang menginspirasi banyak orang.
“Program ini menjadi upaya kami untuk menjaga dan melestarikan foklor di Muria. Karenanya, kami harap program ini didukung banyak pihak, stakeholder, pemerintah daerah dan swasta,” tuturnya. (sim/ rid, adb, ros)