SAAT masyarakat Nusantara didera “isu” dan “fakta” kelangkaan minyak goreng yang kemudian viral dan menjadi pemberitaan hangat media massa, maka pemberitaan yang muncul kebanyakan adalah kepanikan masyarakat yang sulit mendapatkan (membeli) minyak goreng.
Namun jika dikatakan masyarakat sangat risau dan khawatir yang amat sangat menyikapi kondisi “isu” dan “fakta” kelangkaan minyak goreng, nampaknya sangat berlebihan. Sebab, orang Indonesia ini orangnya cerdas – cerdas dan selalu memiliki pemikiran – pemikiran alternatif.
Kita tentu ingat pepatah “tak ada rotan akar pun jadi” (artinya apabila yang baik tidak ada ada yang kurang baik pun dapat dimanfaatkan). Pepatah ini, tentu tidak hadir begitu saja. Karena pepatah sekalipun, pasti juga merefleksikan kondisi obyektif masyarakat.
Demikian juga dengan situasi dan kondisi saat ini. Saat masyarakat “kesulitan” (atau dibikin sulit?) mencari (baca: memberi) minya goreng, maka reaksi masyarakat pun beragam. Ada yang panik. Ada yang seolah-olah panik. Tetapi yang perlu diketahui juga, tak sedikit yang biasa-biasa saja meresponsnya.
Coba simak salah satu warganet di akun Facebook: Mazkiyatul Fithriya. Pada 23 Februari 2022 lalu, dia menulis status yang cukup menggelitik: “Gerakan masak tanpa minyak goreng, kira-kira cocok po ra luuuur ….. Tempe tahu, iklan laut bisa enak dan lezat koq kalau kukus, pepes, bakar, panggang, bacem dan masih banyak menu lain. Sing podo nimbun minyak ben kecelik….”
Status itu pun mendapat tanggapan warganet lain. “Cocok….sekaligus bisa mengurangi lemak di tubuh,” tulis Imam Wahyudi menanggapi. “Setuju banget mbak,” timpal Eli Saadah, warganet lain merespons status tersebut.
Warganet lain di akun Facebooknya, Muhamad Khabib, juga membagikan hal menarik di laman akun media sosialnya itu. Sebuah pengalaman semasa pernah “merantau” di Sumatera bersama keluarganya.
“ … Pengalaman dulu ketika makan jarang menggunakan media minyak goreng waktu memasak makanan. Kalau masak pakai bahan bakar kayu, semuanya cari di hutan, termasuk lauknya. Kadang makan ikan, makan burung, makan jamur, dsb. Termasuk kalau makan sering pakai bawang merah. Caranya cukup dibakar, setelah itu bawang merah bakar campur garam langsung dimakan pakai nasi. Alhamdulillah. Waktu itu merasakan nikmat luar biasa. Jadi dengan pengalaman itu, sekarang walaupun minyak goreng langka, tempe terbatas, pengalaman itu ternyata berharga untuk di nikmati lagi”.
Pada intinya, masyarakat kesulitan mencari dan membeli minyak goreng, belakangan ini, adalah fakta yang tak bisa dimungkiri. Tetapi harus dipahami, masyarakat kita itu sangat cerdas menghadapi berbagai persoalan hidup, dengan ragam pemikiran-pemikiran alternatif. Sebagaimana pepatah di atas, “tak ada rotan akar pun jadi”. Wallahu a’lam. (redaksi)