
KUDUS, Suaranahdliyin.com – Stigma buruk terhadap petani masih begitu melekat di Indonesia. Masyarakat masih beranggapan petani adalah pekerjaan yang remeh dan miskin. Lewat bukunya, Kanti W Janis ingin mengubah persepsi tersebut dengan cara memuliakan petani.
Isu pertanian dan pendidikan menjadi problem utama yang dibahas dalam acara bedah buku Cita-cita titik Dua Petani! Karya Kanti W. Janis. Acara itu digelar oleh Omah Dongeng Marwah (ODM) bersama Forum Kamis Legen (Kalen) di Kebun Pecuk Pecukilan Sidji Coffe, Desa Bae, Bae, Kudus, Sabtu (4/2/23).
Kanti menceritakan alasannya menulis novel bertema petani. Ia mengaku merasa cemas dan prihatin terhadap nasib petani di Indonesia. Petani yang disebut sebagai pahlawan pangan masih mendapat stigma buruk dan belum bisa berdaulat pangan.
“Padahal nasib petani di negara lain jauh lebih baik dan lebih makmur,” ujar Kanti di Kebun Pecuk Pecukilan, Sidji Coffe, Bae, Kudus.
Ia kemudian mengulas isi novel titik dua petani secara singkat. Kata Kanti, novel barunya itu bercerita tentang kisah anak jenius di sekolah baru yang ingin menjadi petani. Ia bertemu dengan teman-teman yang juga mempunyai cita-cita yang tidak biasa. Dari pertemuan itu kemudian ada keinginan bersama untuk mendobrak sistem yang ada sekarang.
“Tidak semua profesi dan cita-cita itu harus muluk-muluk. Harus tujuan utamanya keuntungan. Padahal seharusnya profesi itu dilihat dari passion, kecintaan, dan manfaat bagi dia dan orang lain,” jelas Kanti.
Menariknya, lanjut Kanti, dalam novel titik dua petani! juga diselipkan banyak panduan atau trik-trik menjadi petani, seperti cara menanam, cara membudidaya, cara memasarkan. Lewat bukunya tersebut, ia pun ingin mengingatkan kembali bahwa petani adalah pekerjaan mulia, ingin menyadarkan kembali betapa pentingnya keberadaan petani yang makmur.
“Kita suka ngomong tinggi tapi yang dasar belum selesai. Minimal jika tidak menjadi petani, kita harus dukung petani Indonesia supaya berdaulat, caranya dengan membeli produk lokal, mensupport, memuliakan, dan membantu dengan apa yang kita bisa,” ajaknya.
Merespons pembahasan buku ini, Founder Omah Dongeng Marwah, Hasan Aoni cukup tergugah dengan cerita-cerita yang diangkat. Menurutnya sebuah karya sastra dalam hal ini novel, juga harus mempunyai unsur novelty atau kebaharuan.
“Dan Kanti, berhasil menghadirkan itu dalam cita-cita titik dua petani!,” ungkap Hasan.
Lebih lanjut, Hasan mengungkapkan, lewat buku ini anak-anak muda bisa percaya diri untuk bercita-cita menjadi petani atau profesi lainnya yang tidak populer. Melalui buku ini, kata dia, penulis ingin menunjukkan bahwa ukuran kesuksesan tidak melulu diukur melalui uang atau besar kecilnya keuntungan.
“Justru, ukuran capaiannya adalah kemandirian dan kebahagiaan seseorang,” tandasnya.
Di akhir sesi, Kanti kembali menegaskan bahwa persoalan pendidikan dan pertanian harus terus disuarakan. Ia percaya bahwa tidak ada profesi atau cita-cita yang bodoh. Keberhasilan tidak selalu diukur dari profit atau keuntungan materi yang didapat.
“Jangan meremehkan suatu profesi. Setiap cita-cita itu mulia. Membiarkan anak-anak berkembang sesuai dengan bakat dan passion adalah pilihan terbaik,” sebut Kanti menyimpulkan. (sim/rid)