Menakar Kekuatan Khittah Organisasi NU dan Pengurus

0
2044
H. Fatah Syukur/ Dok. Pribadi

Oleh: Prof. Dr. H. Fatah Syukur M.Ag.

Pada 7 Juli 2018 besok, PWNU Jateng memiliki hajat besar, yakni Konferensi Wilayah Nahdlatul Ulama (Konferwil NU). Kali ini, tema yang diangkat adalah ‘’Meneguhkan Kemandirian NU Jawa Tengah Menyongsong se-Abad NU’’.

Walaupun banyak isu besar sekitar program, namun isu tentang siapa para kandidat yang muncul, selalu menjadi perbincangan hangat. Sebab, siapa pun yang terpilih nanti, memiliki masa yang sangat strategis, karena melewati tahun politik; ada pemilihan legislatif, pemilihan DPD hingga pemilihan presiden.

Berkenaan dengan adanya tahun politik tersebut, maka pengalaman tentu harus menjadi pembelajaran dan pertimbangan dalam menentukan sikap dan tindakan.

Secara organisasi, NU telah kembali ke khittah sejak tahun 1980-an. Walaupun sudah berjalan hampir setengah abad, namun dalam implementasinya selalu ada dinamika. Keberadaan NU di Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan menjadi pendulang suara terbanyak, ternyata tidak seimbang dengan posisi yang diberikan kepada organisasi NU. Bahkan orang-orang NU yang ada di partai tersebut, juga kurang memiliki kontribusi positif terhadap NU.

Padahal dengan kembali ke khittah, maka NU secara organisasi lebih mandiri, dan memiliki kesempatan untuk berkomunikasi serta berinteraksi dengan partai dan organisasi mana pun.

Di awal era reformasi, di mana partai-partai bermunculan, muncul wacana dan ghiroh politik warga NU, yang kemudian ‘melahirkan’ Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang dibidani oleh KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) bersama para kiai NU saat itu.

Akan tetapi walaupun khittah NU tidak berubah, namun kehadiran PKB sebagai partai yang dilahirkan para kiai NU, menjadikan PKB seolah-olah partainya orang NU. Padahal NU sudah khittah dan orang NU ada di mana-mana.

***

Pengalaman adalah guru terbaik. Warga NU dan umumnya masyarakat Indonesia, telah mengalami perubahan dan peningkatan kualitas pendidikan dalam berdemokrasi. Oleh karena itu, dalam berdemokrasi harus lebih rasional, bukan hanya emosional.

Beberapa event Pemilihan Bupati (Pilbup) dan Pemilihan Gubernur (Pilgub), di mana pengurus (baca: personal pengurus) NU mengarahkan warganya ke calon yang didukung PKB, ternyata banyak yang gagal, termasuk di Pilgub Jateng dan Jatim.

Bahkan isu-isu parsial yang dikemukakan, seperti: kalau calon kita jadi, maka NU akan mendapatkan ini dan itu, posisi ini akan diisi orang NU, juga tidak memengaruhi suara perolehan calon yang bersangkutan. Kalau hasilnya tidak seperti yang diharapkan, jadi yang didukung kalah, maka imbasnya adalah pada organisasi. Padahal NU tetap khittah.

Maka tema yang diangkat dalam Konferwil kali ini sangat tepat, sebagai upaya meneguhkan kemandirian organisasi. NU adalah organisasi massa Islam terbesar di Indonesia, bahkan mungkin di dunia. Kalau memang memiliki kemandirian kuat, maka program apapun bisa dilaksanakan, kekuatan luar yang akan merusakkan NU akan sirna.

Kemandirian itu bukan hanya soal politik, juga kemandirian ekonomi. Kalau NU masih selalu berharap subsidi dari pemerintah, maka tidak akan mandiri. Era keterbukaan, dengan pengelolaan anggaran yang cukup ketat, tidak mudah bagi pejabat untuk bermain-main soal keuangan.

Untuk itu, maka potensi warga itu secara kuantitatif dan di-manage dengan baik untuk pengembangan dan kemandirian organisasi.

***

Pemilihan pengurus NU Jateng, khususnya Rois Syuriah dan Ketua Tanfidziyah, harus mempertimbangkan banyak hal untuk mewujudkan misi kemandirian organisasi ini. Sebaiknya calon harus netral dari politik praktis dari partai mana pun, supaya tidak ada beban komunikasi dengan berbagai pihak.

Sebagai pengurus di tingkat provinsi, maka secara akademik dan secara organisasi, harus memiliki level yang mumpuni. Apalagi kalau didukung dengan kemandirian ekonomi. Sehingga pengurus itu bukan mencari penghidupan di organisasi, tetapi pengurus justru menghidupi organisasi.

Selamat ber-Konferwil, semoga menghasilkan program-program dan pemimpin yang lebih baik. wallahu a’lam. (*)

Prof. Dr. H. Fatah Syukur M.Ag.

Penulis adalah pengurus LP Ma’arif NU Jateng, guru besar UIN Walisongo Semarang dan Ketua DPD P-ADRI (Perkumpulan Ahli dan Dosen Republik Indonesia) Jateng.

 

Comments