
BOGOR, Suaranahdliyin.com – Belakangan, muncul fenomena perang urat syaraf yang berujung pada penistaan, caci maki, bahkan kekerasan fisik dengan bungkus agama. Hal ini dapat mengancam persatuan bangsa dan mendesepsi ajaran agama Islam yang sebenarnya. Tahun politik yang panas, harus disikapi dengan dingin oleh segenap umat beragama di Indoensia, agar persatuan tetap terjaga.
Menteri Agama (Menag) H. Lukman Hakim Saifuddin mengutarakan hal itu pada talkshow yang dipandu pendiri Sekolah Cikal, Jakarta, Najelaa Shihab. Talkshow digelar dalam Rapat Pimpinan Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama di Hotel Alana, Sentul, Bogor, Senin (21/1/2019) kemarin.
Menurut Menag, sebagian elemen masyarakat kini nampak begitu berlebihan dalam mengekspresikan keberagamaanya, sehingga melakukan aksi yang justru bertentangan dengan esensi agama.
‘’Prinsip agama menjaga kemuliaan manusia. Itu termaktub secara eksplisit dalam al-Qur’an. Agama tidak mungkin mensegregasi, tetapi menyatukan, merangkul, dan mengayomi semua elemen manusia, tanpa kecuali. Maka aksi kontra humanisme seperti penistaan, caci maki, dan kekerasan yang mengusung ajaran agama, adalah bentuk kesalahan dalam menyerap ajaran agama” tegasnya.
Di hadapan 300 pejabat Ditjen Pendidikan Islam, Kemanag menekankan, agar seluruh jajarannya sudah selesai dengan pemahaman ini. Salah satu pagar yang menjaga keberagamaan di Indonesia adalah pemerintah Indonesia, dalam hal ini Kementerian Agama.
‘’Titik utama yang penting mendapatkan perhatian terkait perilaku beragama, adalah pendidikan Islam. Saat ini, Kemenag menaungi 78.000 madrasah, 28.100 pondok pentren, dan 770 perguruan tinggi Islam. Dari lembaga-lembaga inilah ajaran agama yang murni disampaikan,’’ ungkapnya.
Melalui pendidikan, lanjut Menag, seseorang akan memiliki cara pandang yang waras dan memiliki nilai-nilai. Maka para pegiat pendidikan, mulai birokrasi hingga para guru dan tenaga pendidikan di lapangan, pada dasarnya adalah orang-orang yang membangun peradaban Indonesia.
“Jangan menganggap peran ini sekadar sebagai pekerjaan. Bila hanya itu, maka mesin bisa menggantikannya dengan lebih baik. Tetapi kita pada dasarnya sedang membentuk manusia Indonesia,” katanya mengingatkan. (rls/ adb, ros)