Oleh: Septianti
Perbincangan tentang feminism, umumnya mengarah pada bagaimana pola relasi antara laki-laki dan perempuan, serta hak, status dan kedudukan perempuan di sektor domestik dan publik.
Namun dalam perkembangannya, tidak ada standard tunggal dalam aplikasi ide ini. Kamla Bashin dan Nighat Said Khan (2004), tidak mudah merumuskan definisi feminisme yang dapat diterima semua feminis di semua tempat dan waktu. Sebab, definisi feminisme berubah-ubah sesuai perbedaan realitas sosio-kultural yang melatarbelakangi kelahirannya, perbedaan tingkat kesadaran, persepsi serta tindakan yang dilakukan feminis itu sendiri.
Kamla dan Nighat sendiri mendefinisikan feminisme dengan suatu kesadaran akan penindasan dan pemerasan terhadap perempuan dalam masyarakat di tempat kerja dan dalam keluarga, serta tindakan sadar oleh perempuan maupun laki-laki untuk mengubah keadaan tersebut.
Kaum feminis berpandangan, penindasan terhadap perempuan yang terjadi di tengah masyarakat, adalah fenomena ketidakadilan gender (gender inequalities) yang menimpa kaum perempuan.
Mansour Fakih (1998), menyebutkan lima fenomena ketidak adilan gender, di antaranya marginalisasi perempuan baik dirumah tangga, tempat kerja, maupun di masyarakat dan subordinasi terhadap perempuan, karena adanya anggapan bahwa perempuan itu irasional, emosional, maka ia tidak bias memimpin sehingga ditempatkan pada posisi yang tidak penting.
Selanjutnya, stereotype yang merugikan kaum perempuan (suka bersolek untuk memancing perhatian lawan jenis), berbagai kekerasan menimpa perempuan baik fisik maupun psikologis karena anggapan bahwa perempuan dianggap lemah, serta pembagian kerja yang merugikan perempuan (perempuan dianggap hanya cocok dalam pekerjaan domestik, sehingga tidak pantas melakukan pekerjaan di ranah publik seperti laki-laki).
Lahirnya gerakan feminisme terbagi dalam dua gelombang. Masing–masing gelombang memiliki perkembangan yang sangat pesat. Diawali dengan kelahiran era pencerahan yang terjadi di Eropa, dengan Lady Mary Wortley Montagu dan Marquis de Condoracet sebagai pelopornya.
Feminisme di Indonesia telah dimulai pada abad 18 oleh RA Kartini, melalui hak yang sama atas bidang pendidikan bagi anak-anak perempuan. Perjuangan feminis sering disebut dengan istilah gelombang (wave) dan menimbulkan kontroversi (perdebatan), mulai dari feminis gelombang pertama (first wave feminism) dari abad ke-18 sampai ke pra 1960, kemudian gelombang kedua setelah tahun 1960, dan bahkan gelombang ketiga atau Post Feminisme.
Seiring perjalanannya, feminisme Barat dalam memperjuangkan hak-haknya dan mewujudkan cita-citanya, sering mengabaikan pengalaman perempuan dari latar belakang budaya yang berbeda dengan mereka. Padahal konsep gender yang mereka populerkan adalah menyamakan dan mensetarakan posisi laki-laki dan perempuan yang ditentukan oleh sosial dan budaya tergantung pada tempat atau wilayahnya.
Feminisme Barat -sering disebut feminisme arus utama- tidak memerdulikan ragam budaya yang memengaruhi perempuan, sehingga perempuan yang berada di negara berkembang (dunia ketiga) disebut feminis Barat sebagai perempuan yang bodoh, terbelakang, buta huruf, tidak progresif dan tradisional.
Lahirnya Feminisme Islam
Kesadaran akan apa yang kemudian pada akhir abad ke-20 dikenal dengan ketidakadilan gender yang dialami perempuan, mulai terlihat dalam karya-karya tulis para penulis Muslimah pada akhir abad ke-19 sampai pertengahan abad ke-20.
Di antara mereka adalah ‘Aisyah Taimuriyah, Huda Sya’rawi, Nabawiyah Musa dan Hifni Nashif (Mesir), Zainab Fawwaz (Lebanon), Rokeya Sakhawat Hossain dan Nazar Sajjad Haydar (India), RA. Kartini (Jawa), Emile Ruete (Zanzibar), Taj as Salthanah dari (Iran) dan Fatme Aliye (Turki).
Sedang para feminis Muslim yang mempersoalkan historisitas ajaran Islam, antara lain Ashgar Ali Engineer, Riffat Hassan dan Amina Wadud Muhsin. Dalam pandangan mereka, al-Quran tidak melihat inferioritas perempuan dibandingkan laki-laki. Laki-laki dan perempuan menurut mereka setara dalam pandangan Allah SWT.
Feminisme Islam tentu saja tidak menyetujui setiap konsep feminis yang berasal dari Barat, khususnya yang ingin menempatkan laki-laki sebagai ‘lawan’ perempuan. Feminisme Islam tetap berupaya memperjuangkan kesetaraan perempuan dengan laki-laki yang terabaikan di kalangan tradisionalis-konservatif, yang menganggap perempuan sebagai sub ordinat laki-laki.
Dengan demikian, feminisme Islam melangkah dengan menengahi kelompok tradisionalis-konservatif di satu pihak, dan pro feminisme modern dipihak lain. Inilah yang oleh Mahzar disebut dengan pasca feminisme Islam integratif, yang menempatkan perempuan sebagai ‘kawan’ laki-laki untuk membebaskan manusia dari tarikan naluri kehewanan dan tarikan keserbamesinan di masa depan.
Selanjutnya, meskipun para feminis mempunyai kesadaran yang sama tentang ketidakadilan terhadap hak-hak perempuan, namun mereka berbeda pendapat dalam menganalisa sebab terjadinya ketidakadilan, akibat serta bentuk perjuangan mereka.
Ratna Megawangi menyebutkan (2004), perbedaan perspektif tersebut, sejauh ini melahirkan empat aliran besar feminisme, yaitu feminisme Liberal, Marxis, Radikal dan sosialis. Seiring perkembangannya, pada 1980-an, muncul satu aliran baru feminisme yang dikenal dengan Ekofeminisme. Aliran ini cenderung menerima perbedaan laki-laki dan perempuan. Mereka percaya bahwa perbedaan gender bukan semata-mata konstruksi sosial budaya, juga intrinsik. (*)
Septianti,
Penulis adalah mahasiswa Pascasarjana UIN Walisongo Semarang dan pengurus wilayah (PW) IPPNU Jawa Tengah.