
Innalillahi wa inna ilahi raji’un. Kembali Indonesia, khususnya warga Nahdlatul Ulama (NU) kehilangan salah satu kiai dan intelektual yang sangat bersahaja: Prof. Dr. KH. Maghfur Usman. Menurut berita yang beredar, beliau meninggal dunia sekitar pukul 15:00 WIB, Kamis (17/5/2018).
Saya sendiri tidak secara khusus mengenal beliau. Hanya saja, Saya sempat sowan bersama rombongan dari madrasah Tasywiquth Thullab Salafiyah (TBS) Kudus sekitar 2010 lalu. madrasah TBS Kudus memang memiliki kedekatan dengan sosok Kiai Maghfur Usman, karena beliau memang alumni dari madrasah tersebut.
Dan kendati tidak mengenal beliau secara khusus, namun sungguh beruntung karena sekitar 2010 itu, Saya mendapatkan kesempatan (tugas) menjemput Kiai Maghfur Usman di Cepu (Blora) untuk menghadiri acara reuni akbar madrasah TBS, yang waktu itu beliau didaulat sebagai salah satu narasumber.
Perjalanan dari Cepu ke Kudus, banyak cerita yang Saya dapat. Termasuk bahwa beliau adalah orang yang sangat dekat dengan H. Subhan ZE., salah satu tokoh NU pada masa awal Orde Baru. H. Subhan ZE. Juga disebut sebagai salah satu orang yang berjasa memberinya uang saku saat ia pergi belajar ke Saudi Arabia.
Namun yang menjadi perhatian Saya adalah, betapa beliau senantiasa rendah hati. Saat belajar di Saudi Arabia, baik untuk S1, S2 maupun S3, disebutnya sebagai sesuatu yang kebetulan saja.
‘’Saya itu tidak pinter. Hanya saja kebetulan dapat kesempatan saja untuk belajar di Saudi Arabia. Waktu ujian S1 baru selesai, tak berselang lama saya ditawari untuk S2, ya, saya mau saja. Waktu habis ujian tesis, juga demikian. Tak lama kemudian ada tawaran S3, ya saya ambil saja. Jadi semunya serba kebetulan,’’ katanya dalam perbincangan antara Cepu – Kudus itu.
Selesai studi di Arab Saudi, lantaran ‘’tidak bisa langsung pulang ke Indonesia’’ karena ‘’alasan keamanan’’, ia pun ‘’transit’’ di Malaysia dan mengajar di sana. ‘’Mengajar di Malaysia juga kebetulan ada yang menawari,’’ ujarnya lagi.
Selepas dari Malaysia, Kiai Maghfur Usman pindah ke Brunei Darussalam untuk mengajar di sana. ‘’Saya ngajar di Brunei, dan diangkat jadi Dekan juga. Ini juga kebetulan. Kebetulan Menteri Pendidikan di Brunei waktu itu teman Saya waktu belajar di Arab Saudi,’’ kisahnya.
Bagi penulis, ‘’kebetulan’’ sebagaimana diungkapkan Kiai Maghfur Usman adalah manifestasi kerendahan hati beliau. Dia tidak hendak menonjolkan diri, apalagi menunjukkan bahwa ia adalah seorang intelektual dengan rekam jejak pendidikan yang mumpuni.
Lulus dari Assalam (cepu), ia belajar di madrasah TBS Kudus dari tahun 1956-1959 dan beberapa pesantren lain, sebelum akhirnya belajar ke Arab Saudi. Di Kudus, selain di TBS ia nyantri di Pondok Pesantren al-Hamidiyyah di bawah asuhan KH. Abdul Djalil Hamid yang juga guru di madrasah TBS Kudus.
Nah, ada lagi cerita lain yang menarik. Sewaktu KH. Said Aqil Siroj menjabat ketua umum PBNU periode pertama, Kiai Maghfur Usman dihubungi Kiai Said dan diminta berkenan masuk dalam struktur Mustasyar PBNU (2010-2015).
Jawaban Kiai Maghfur Usman waktu itu adalah, ‘’Aq iku wis tuwo, Id,’’ katanya hendak menolak dengan halus. Namun Kiai Said tetap meminta agar Kiai Maghfur tetap berkenan masuk di struktur Mustasyar PBNU.
Lalu Kiai Maghfur mengatakan, ‘’Mustasyar iku gaweane opo. Nek ora usah mergawe entuk maido, yo ora popo,’’ kisahnya menjawab Kiai Said sembari bercanda. ‘’Ya, kira-kira seperti itu, kiai,’’ jawab Kiai Said. ‘’Lha, nek entuk maido ora usah mergawo, yo, gelem, Aku,’’ candanya lagi menjawab Kiai Said.
Di NU, Kiai Maghfur Usman tidak sekadar masuk dalam struktur PBNU saja. Melainkan sejak muda ia memang telah aktif, khususnya di Gerakan Pemuda Ansor semasa masih di Kudus. Di Kudus, waktu itu, ia aktif di berbagai kegiatan NU semasa dengan H. Achmad Shochib (ayahanda H. Muhammad Hilmy/ Mubarokfood).
Maka tidak heran pula jika sosok Kiai Maghfur Usman ini juga sangat dekat dengan keluarga H. Achmad Shochib. Itu nampak pula, saat sampai di Kudus dan transit di Mubarokfood, Kiai Maghfur Usman langsung disambut oleh H. Muhammad Hilmy bersama keluarga dan panitia reuni akbar madrasah TBS.
Dan baru beberapa bulan lalu, saat Saya sowan ke kediaman mendiang KH. Abdul Djalil Hamid di samping Masjid Alhamidiyyah Mlati, Hj. Roihanah (menantu KH. Abdul Djalil Hamid) dan Nur Uswati (cucu KH. Abdul Djalil Hamid) menceritakan, waktu KH. Abdul Djalil Hamid meninggal dunia di Makkah, Kiai Maghfur Usman lah yang mengurus jenazahnya.
Tidak banyak yang penulis ketahui tentang sosok Kiai Maghfur Usman. Tetapi sekali lagi, penulis beruntung karena pernah mendapatkan setitik pencerahan dalam perjalanan dari Cepu menuju Kudus, waktu itu. Sugeng kondur, Kiai. (Rosidi)