
Saya senang memanggil beliau Mbah Yik De, karena sudah turun menurun keluarga besar saya memanggilnya seperti itu. Masa hidup Mbah Yik De semasa dengan eyang buyutku, Mbah Ridlwan. Keduanya bahkan merupakan kawan karib.
Saat saya kecil dulu, setiap Senin dan Kamis, sudah pasti diajak ziarah simbahku, Simbah Masykuri dan Simbah Halimah, ziarah ke makam Mbah Yik De. Lama setelah itu, saya baru tahu mengapa simbah tidak pernah absen ziarah ke makam Mbah Yik De; ada hubungan yang sangat spesial antara Mbah Yik De dan Mbah Ridlwan.
Menurut penuturan Habib Hasan bin Syihab Mayong, Mbah Yik De dilahirkan di Pati Kota, namun kemudian oleh kedua orang tuanya diajak ‘’hijrah’’ ke Jepara.
Apa yang menarik dari Mbah Yik De?
Sedari kecil, Mbah Yik De mempunyai sifat khawariqul ‘adah, sehingga masyarakat banyak bertumpu minta doa yang dalam bahasa wong Jawa dikenal dengan minta “suwuk”, dalam hal apa pun.
Kiai Masduqi mendapat cerita dari Mbah Yasin Gleget, Mayong, bahwa “suwuknya” Mbah Yik De yang berupa “jimat” itu aneh, yaitu berupa tulisan (oret-oretan) seperti benang ruwet saja tanpa ada yang tahu maksudnya. Namun saat mendapatkan “suwuk jimat benang ruwet” dari Mbah Yik De seperti itu, yang bisa mengartikan maksudnya adalah Mbah Ridlwan. (H. Hisyam Zamroni, wakil ketua PCNU Kabupaten Jepara)