KUDUS,Suaranahdliyin.com – Pada tahun 2018 ini, banyak bermunculan penulis muda yang mampu melahirkan karya buku. Salah satunya, kader muda NU asal Kudus Muhammad Zidni Nafi yang baru saja meluncurkun buku baru berjudul “Menjadi Islam Menjadi Indonesia” di Pesantren Al-Wafa Bandung, Senin (2/4/2018).
Pria yang biasa disapa Zidni Nafi ini mengatakan buku ini menyajikan refleksi beragama dan berbangsa sebagai suatu keharusan yang sulit dipisahkan, di mana “Islam” dan “Indonesia” memiliki romantisme yang tidak saling bertentangan, melainkan justru saling mengisi.
Di tengah pergumulan itu, lanjutnya, masih ada kalangan Nahdlatul Ulama (NU), santri, dan pesantren yang sepanjang sejarahnya selalu gigih dan komitmen menanamkan keislaman yang moderat, toleran, mengedepankan perdamaian, dan perhatian dalam melestarikan tradisi Nusantara.
“Buku ini berisi tentang pemikiran yang diperoleh dari pengalaman dan kajian dalam merefleksikan isu dan problem lokal maupun nasional yang dialami bangsa Indonesia khususnya ummat Islam,”ujarnya kepada Suaranahdliyin com, belum lama ini.
Menurut mahasiswa UIN Bandung ini, kehidupan beragama di Indonesia semakin hari kian menghadapi tantangan yang cukup berat, terutama bagi kalangan muslim. Pasalnya saat ini tidak sedikit yang masih mempertanyakan, “Mengapa Indonesia tidak dibentuk Negara Islam?”
Tidak sampai di situ, ia menilai ada gerakan-gerakan radikal yang berupaya merongrong kedaulatan NKRI dengan melakukan propaganda, misalnya demokrasi sebagai sistem kufur, dan harus diganti dengan sistem khilafah.
“Ada juga upaya-upaya yang melakukan pembenturan demi merusak keharmonisan bangsa. Seperti Pemerintah versus umat Islam, ormas Islam dengan ormas Islam, umat Islam vs. umat agama lain, bahkan perbenturan antara konsep Islam versus Pancasila,”imbuh Zidni yang beralamat desa Papringan Kaliwungu Kudus
Penulis buku Islam Nusantara DR Ahmad Baso menilai buku ini berisi kajian keislaman Nusantara dan aktualisasinya dalam studi-studi pemikiran dan ideologi kontemporer. Dikatakan, buku ini juga kelanjutan dari perhatian utama anak muda NU kini terhadap bagaimana tradisi Keislaman dan peradaban Nusantara tampil dalam konteks kekinian.
“Buku ini juga berbicara dari posisi “ke-kita-an” kita di tengah pergumulan pemikiran global, tanpa kehilangan jejak-jejak kemanusiaan universalnya, dan juga jejak-jejak Islamnya yang otentik ber-Aswaja.”tulis Ahmad Baso dalam kata pengantar buku setebal 365 halaman dengan penerbit Quanta.(adb)