
KUDUS, Suaranahdliyin.com – Aswaja Center Kudus kembali menggelar Kajian Dialogis rutin Ahad Malam Senin Kliwon di Masjid Al-Muttaqien Kependen Desa Kramat, kec. Kota, Kudus, Ahad (23/01/2022).
Turut hadir dalam diskusi yang bertema “Islam dan Nasionalisme” ini di antaranya M. Bahauddin Mahfudz dan Ahmad Nasih Saiq sebagai pemateri dan diikuti oleh Rajilul Ansor PAC. Kota Kudus, Dewan Pakar Aswaja Center, dan peserta yang hadir.
Pemateri pertama, M. Bahauddin Mahfudz atau biasa disapa Gus Baha memaparkan bagaimana definisi nasionalisme an kaitannya dengan agama.
“Nasionalisme itu suatu paham, ajaran untuk menumbuhkan kecintaan terhadap bangsa dan negara kita. Nasionalisme sudah menjadi fitrah bawaan setiap orang sejak lahir,” kata Gus Baha.
Dia menjelaskan, meskipun sikap nasionalisme tidak secara jelas disebutkan dalam Al-Qur’an, namun secara implisit terdapat poin-poin yang merujuk pada sikap nasionalisme.
“Dalam surat Al-Baqoroh ayat 144, dijelaskan bahwa Rasulullah itu kerinduannya kepada tanah kelahiran Mekah itu begitu seringnya sehingga menghadapkan wajahnya ke langit dengan menengadah, kegalauan tampak di wajah rasulullah,” paparnya.
Gus Baha juga menegaskan bahwa nasionalisme dan agama bukan konsep yang harus bertentangan, keduanya berbeda tapi merupakan satu kesatuan.
“Ibarat koin yang terdapat dua sisi berbeda, tetapi saling menyatu, begitu juga agama dan nasionalisme, saling berkaitan satu sama lain. Bahkan dalam Alquran dijelaskan kalimat Agama dan tanah air disejajarkan oleh Allah,” tandasnya.
Manambahi yang disampaikan Gus Baha, Ahmad Nasih Saiq alias Gus Nasih menyampaikan urgensi mengapa nasionalisme sangat penting apalagi di era sekarang. Pertama, masifnya gerakan islam trans-nasional berhaluan keras yang menyebar di indonesia.
“Misalnya paham wahabi, HTI, dan sebagainya, mereka secara keras melakukan infiltrasi ke ormas-ormas yang ada di indonesia, termasuk ke NU dan Muhammadiyah,” terang Gus Nasih. “Ada juga yang bergerak di dunia digital, mempengaruhi para generasi milenial yang belum memiliki wawasan islam yg banyak,” tambahnya.
Kedua, sambung Gus Nasih, memasuki era digital dengan banjir informasi yang sudah tidak bisa dibendung, sangat rentan dan riskan munculnya hoax dan berita manipulatif dan mempengaruhi generasi milenial.
“Banyak orang tidak cocok dengana presiden kita, banyak yg lebih mendukung presiden luar karena berita manipulatif yang disebar berita yang bagus saja,” bebernya.
Kajian seperti ini, menurut Gus Nasih, perlu digalakkan kembali untuk generasi milenial agar lebih menumbuhkan rasa cinta tanah air dan sikap nasionalisme di Indonesia. (hasyim/rid)