Without religion there can be no morality. Without morality there can be no law. (C. Denning)
Oleh: Dr KH Muchotob Hamzah MM
“Tanpa agama tak ada moral, tanpa moral tak ada hukum.” Tesis di atas pernah saya tulis pada episode sebelumnya, karena cakupannya yang luas dan semakin terbuktikan via fakta yang kita saksikan.
Di setiap komunitas, selalu ada kearifan lokal yang usianya ribuan tahun, besar dugaan kita sebagai bukti kebenaran tesis itu. Bila ditambahkan dengan tesis kita: “Without Islam there can be no religion.” Artinya: tanpa Islam tidak ada agama.
Karena menurut al-Quran, agama semua Nabi dan rasul adalah Islam. Allah berfirman: Dan hanya Islam yang Ia terima.
Dalam al-Quran juga disebutkan, bahwa Barangsiapa yang mencari agama selain Islam, maka tidak akan diterima darinya. Dan ia di akhirat tergolong orang yang merugi. (QS. 3: 85)
Jika yang dimaksud ayat di atas spesifik Islam-nya Nabi Muhammad, lalu agama Nabi sebelumnya diterima Allah apa tidak? Maka yang logis, secara generik semua Nabi dan rasul membawa agama Islam. Dinamakan Yahudi karena dipimpin oleh Yahuda. Dinamakan Nasrani karena dipimpin Nabi Isa yang lahir di Nasirah (Nazaret), dan seterusnya.
Merujuk pada al-Quran, Nabi Ibrahim memohon kepada Allah agar dijadikan seorang Muslim (2: 128), pula untuk keturunannya (2: 128). 12 kaum Hawari murid Nabi Isa, juga Islam (3:52). Sebagian jin beragama Islam (72:14). Nabi Luth beragama Islam (51: 36). Tukang sihirnya Fir’aun menjadi Islam (7: 126). Bani Israil diperintah berislam ole Nabi Musa (10: 84). Ratu Bilqis berislam (27: 22-44), dan sebagainya.
Allah dalam firman-Nya menyebutkan: Dia menamakan agama kalian adalah Islam sejak dahulu. (QS. 22: 78)
Salah satu contoh kearifan lokal bidang teologi adalah kata “Atnatu”=bahasa Aborigin= Dzat yang tidak memiliki dubur=Maha Suci. Kita tahu bahwa bangsa Aborigin di Australia belum semaju bangsa lain, termasuk dalam keberagamaan. Apakah mungkin kata “Atnatu” sebagai nama Dzat Yang Maha Suci diungkapkan dengan kata majaz yang canggih, kalau itu murni pemikiran mereka?
Padahal kita tahu, saat ini saja masih ada orang modern yang mengartikan kata majaz dengan makna hakiki. Contohnya adalah orang yang mengartikan Tuhan duduk di atas Arasy. Arti logisnya: Tuhan butuh dengan tempat. Karena mereka melarang bertanya: “Sebelum Arasy diciptakan Tuhan, lalu Tuhan duduk di mana?”
Mereka gelap hati mengartikan Tuhan Yang Maha Kaya (Al-Mughni) membutuhkan tempat. Padahal kalau Tuhan butuh tempat berarti Ia tidak Maha Sempurna. Demikian juga ungkapan pahala yang kecil dari mengantar jenazah adalah sebesar gunung Uhud (Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani, Al-Fath, 4/101). Kalau itu dimaknai dengan arti hakiki, apa jadinya?
“Atnatu” hanyalah satu contoh dalam bidang teologi (keimanan). Dalam bidang sosial, etika dan lain-lain tidak terhitung. Di sana ada kearifan lokal yang bersifat tradisi dari insting manusia. Misalnya keinginan manusia normal seluruh dunia berbakti kepada orag tua. Apakah orang ateis di Korea Utara, Kuba dan lainnya meyakini perilaku mereka, bahwa kebaktian pada orang tua sebagai perintah Tuhan?
Kearifan lokal bisa juga datang dari ajaran Tuhan, yang berupa wahyu (revilasi). Karena sebelum terutusnya Nabi akhir zaman; Nabi Muhammad, setiap umat dikirim seorang rasul (10: 47). Tetapi setelah datang nabi akhir zaman, semua orang diajak memeluk agama terakhir itu tanpa paksaan (2: 256).
Islam itu agama fitrah=bawaan bayi (30: 30). Jadi manusia ateis maupun paganis menurut al-Quran sebenarnya beragama juga (109: 6). Al-Quran juga menyebut mereka menjadikan hawa nafsu sebagai Tuhan dan sebagai penuhan Dahr=waktuisme (45: 23-24). Padahal “Ad-Dahr” adalah asma Allah sebagai pencipta waktu .
Semoga penelitian kepustakaan tentang genealogi kearifan lokal ini bisa dilanjutkan penelitian di lapangan. Wallaahu a’lam bi al-shawaab. (*)
Dr KH Muchotob Hamzah MM,
Penulis adalah ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Wonosobo.