Oleh: Dr KH Muchotob Hamzah MM
Demikian, dikatakan Prof Roger Garaudy dalam judul di atas. Jika dianalogkan Islam sebagai penyanyi dengan nyanyiannya, maka aku suka nyanyiannya bukan karena penyanyinya (keadaan muslim hari ini).
Ungkapan itu dilontarkannya ketika baru mualaf dan ditanya oleh sahabatnya. “Kenapa Anda mualaf? Bukankah Islam itu biadab, tidak berkemajuan?”
Sebagai mantan seorang ateis dan wakil ketua fraksi Komunis di parlemen Perancis, ia menjawab: “Saya mualaf bukan karena orangnya. Tetapi karena Saya terpikat ajarannya setelah mempelajari berbagai agama”.
Pemandangan negatif seperti ini bisa kita lihat keadaan umat Islam dari Maroko sampai Meraoke. Dari Canada sampai Selandia. Jauh muslimin dari keislamannya. Itulah yang digambarkan oleh seorang ulama, Amir Arselan dalam “Limaadzaa Ta’akkharal muslimuuna wa Taqaddama Ghairuhum” abad lalu.
Dulu pernah seorang ulama Al-Jazair, Ubaidullah Tsana’ Allah bertemu Perdana Menteri (PM) Sovyet Rusia, periode 1953-1964, Nikita Sergeyevich Khruschev. Sang ulama memaparkan sistem ekonomi Islam yang berkeadilan dan berkesejahteraan sosial.
Khruschev tertarik atas konsep yang indah itu. Lalu sang PM bertanya: “Di Negara mana kiranya Saya bisa melihat implementasinya?” Dengan nada malu, sang ulama menjawab pertanyaan, “Saat ini belum ada, di zaman dulu pernah ada”.
Di Indonesia yang merupakan muslim terbesar di seluruh dunia, masih banyak muslim watermelon, kulitnya hijau, dalamnya merah. Beda teriakan dengan tindakannya. Teriakannya Islam solusi. Islam solusi. Islam solusinya. Ternyata ketika difasilitasi dengan UU yang Islami seperti Undang-undang (UU) produk halal, zakat, Bank Syariah Islam dan lainnya, yang merespons hanya sekitar sepuluh persen saja.
Selebihnya masih menikmati riba, produk non halal, dan sebagainya. Gara-garanya di lapangan, beda praktik dari seharusnya. UU Perkawinan-pun banyak masyarakat muslim yang menjadi pelanggarnya.
Teriakan di lapangan, seolah islami banget: “khilafah, khilafah, khilafah!!! Tetapi konsepnya absurd. Tampak seperti sekadar intrik politik untuk dirinya menggantikan yang dipandang tidak khilafah. Di mana absurdnya? Mereka tahu bahwa dinasti Amawiyah, Abbasiyah, dan Ustmaniyah, semuanya bukan sistem khilafah, tetapi sistem monarki kerajaan.
Anehnya, mereka akui hancurnya khilafah pada 1924. Jadi hancurnya kesultanan Turki Utsmani yang menggantikan sejarah Amawiyah maupun Abbasiyah disebut kekhalifahan. Maka berarti sejak khulafa’ur-rasyidin yang khilafah+dinasti-dinasti itu disamakan statusnya.
Pantasan ada kerajaan yang merasa sudah islami meskipun rakyat hanya diperciki rizki dari kekayaan Sang Raja, yang asetnya ratusan ribu triliun rupiah melebihi aset raja Inggris. Negeri muslim yang lain tidak sedikit yang masih dispotis dan diktator. Rakyatnya masih banyak yang kafir-nikmah (QS. 30:12). Berperilaku nifak. Kalau bicara dusta, kalau berjanji mengingkari, kalau dipercaya berkhianat (Muslim no. 59).
Siapa di antara kita yang tidak pernah berdusta? Mengingkari janji? Berkhianat? Bahkan sebagian kita tidak sekadar “kadzib=orang yang berdusta”, tetapi sudah menjadi “kadzzaab=pendusta”, peningkar janji dan pengkhianat. Hadis itu kita yang hapal, tetapi kita pula yang melakoninya.
Kita lemah karena tidak takut menjadi lemah, melupakan peringatan Allah (QS. 4: 9). Kita lemah iman, sehingga seperti air di daun talas. Kita lemah ekonomi sehingga bersimpuh di kaki orang kaya. Kita lemah ilmu sehingga mengoceh seperti burung beo. Kita lemah ukhuwah, sehingga seperti roti yang dicuil-cuil. Kita lemah disiplin sehingga seperti kambing lepas dari kawanannya.
Mungkin Prof Garaudy berpikir, tak mengapalah saya belum bisa melihat satunya Islam dengan muslim hari ini, di saat sebagian orang bertopeng dengan Islam. Mengeksploitasi Islam untuk kepentingan diri. Mengafirkan orang Islam untuk perpolitikan dirinya sendiri. Na’uudzu billaahi min dzaalik. Wallaahu a’lam bi al-Shawaab. (*)
Dr KH Muchotob Hamzah MM,
Penulis adalah ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Wonosobo.