Habis Intoleran Terbitlah Kedamaian

0
1331

Oleh: Eka Rizkia Larasati

Pencanangan tahun 2022 sebagai tahun toleransi oleh Kementrian Agama menjadi angin segar bagi masyarakat Indonesia untuk menciptakan ruang aman bagi semua lini kehidupan terlebih kaum minoritas. Diskriminasi yang terjadi kepada kaum marjinal dan kelompok rentan di Indonesia beberapa tahun terakhir menunjukkan bahwa diskriminasi harus segera dihapuskan.

Hal ini tentunya tak cukup disuarakan oleh satu pihak saja. Akan tetapi perlu dukungan berbagai pihak dan stakeholder terkait untuk mewujudkan masyarakat damai tanpa memandang perbedaan suku, ras, dan kelompok tertentu. Implementasi kedamaian di salah satu daerah bisa menjadi contoh kecil bahwa masyarakat Indonesia sangat menyukai perdamaian. Ruang-ruang kedamaian tersebut tentunya perlu disuarakan lebih keras sehingga dapat menyebar menjadi teladan bagi daerah lain sehingga taka da lagi ruang terhadap intoleran dan diskriminasi.

Sebagai contoh kecil, Kabupaten Kudus yang terkenal sebagai kota religious sangat getol dalam menerapkan perdamaian dan kota toleran. Penerapan tersebut dapar dilihat dari hubungan social dan kemasyarakatan beda komunitas maupun kepercayaan yang tetap guyub rukun berbaur tanpa ada pembedaan. Kudus mempunyai sejarah Panjang dalam menerapkan misi perdamaian. Beragamnya budaya dan kepercayaan di kabupaten tersebut tampak mencolok pada pelaksanaan kegiatan desa maupun lingkup yang lebih besar. Masyarakat lebih mengedepankan rasa kepercayaan dan kesatuan untuk membangun sinergitas antar dari seluruh sector masyarakat baik kalangan kelompok pinggiran hingga pejabat.

Seperti hanya bangunan Menara Kudus yang menjadi symbol toleransi kota Kudus, motif bercorak Hindu yang terdapat pada bangunan Menara menunjukkan bahwa Kudus sangat menghargai kepercayaan lain. Begitupun anjuran untuk tidak menyembelih sapi pada setiap perayaan hari raya Idul Adha, menjadi bukti penghormatan bagi masyarakat Hindu yang sangat mangagungkan hewan sapi. Bentuk akulturasi budaya islam-hindu tersebut sudah terjaga puluhan tahun hingga sekarang masih dilestarikan oleh masyarakat.

Praktik Baik Toleransi dan Keberagaman

Eksistensi Kudus sebagai kota toleran sangat diterapakan oleh masyarakat Kudus. Kerukunan umat beda agama dapat tercermin dari bangunan ibadah yang berdekatan di beberapa daerah seperti Menara Kudus dengan klenteng konghucu, masjid-gereja di Cranggang Dawe, Masjid-Vihara di Colo Dawe. Mereka hidup rukun meski dari latar  belakang yang berbeda, dan tetap melaksanakan ibadah tanpa mengganggu kepercayaan lain. Selain itu, Kudus juga mewadahi keanekaragaman dengan tempat-tempat tertentu seperti tempat ibadah dan juga pondok budaya. Masyarakat Kudus tetap menjunjung tinggi nilai sosial seperti kerukunan dan tolong menolong sebagaimana yang telah diajarkan oleh Sunan Kudus.

Bahkan, kelompok-kelompok minoritas yang hidup di Kudus tetap mendapatkan ruang aman dan nyaman baik dalam menjalankan aktivitas peribadatannya maupun dalam bersosial dengan kelompok mayoritas. Sebagai contoh, Desa Kaliyoso Undaan dengan berbagai kelompok kepercayaan membuat suatu deklarasi anti kekerasan pada 20 Agustus 2016. supaya antar warga tidak saling mengganggu satu sama lain dan tetap hidup nyaman dengan kepercayaan yang sudah ada sejak nenek moyangnya. Deklarasi tersebut menjadi bukti kepedulian pemerintah terhadap keberagaman yang ada di tempatnya.

Selain di Kecamatan Undaan, masyarakat majemuk juga terdapat di desa Gondangmanis, Kecamatan Bae, Kabupaten Kudus. Berdasarkan data pemeluk agama desa Gondangmanis pada tahun 2020, penganut agama islam berjumlah 14,039 jiwa, jumlah penganut agama kristen ada 1,587 jiwa, penganut agama katholik berjumlah 245 jiwa, ada pula penganut Budha dengan jumlah 3 jiwa, dan penganut Hindu dengan jumlah 5 jiwa. Dari data tersebut menggambarkan adanya keberagaman agama di Desa Gondangmanis. Alih-alih menjadi persoalan, masyarakat Gondangmanis justru tetap harmonis dengan adanya perbedaan. Tidak pernah ditemukan kasus kegamaan di desa tersebut. Akivitas keagamaan tetap berjalan sebagaimana mestinya oleh masing-masing individu.

Praktik baik yang diterapkan oleh masyarakat minoritas yang berbeda agama atau keyakinan yang ada di kaki gunung Muria juga menjadi barometer toleransi yang ada di Kudus. Rupanya mereka dapat  hidup berdampingan satu sama lain dengan aman, nyaman dan damai, saling menjaga kerukunan baik antara warga Kristen-islam di desa Cranggang Dawe, budha-islam di Colo, kaum Ahmadiyah dengan masyarakat dan pemerintah desa Colo, dan sebagainya.

Hal berbeda justru terjadi di luar daerah. Banyaknya konflik atas nama agama maupun diskriminasi social tentunya menimbulkan pertanyaan besar, mengapa daerah lain tidak dapat menerapkan nilai-nilai kedamaian seperti halnya yang ada di Kudus?  Pasalnya baik di Jawa Tengah sendiri maupun di luar banyak terjadi persinggungan konflik atas dasar agama, ras, dan minoritas. Sebagai contoh kasus perusakan masjid Ahmadiyah di Sintang Kalimantan Barat, atau aliran Ahmadiyah yang tidak mendapat ruang dan tidak diakui dalam pemerintahan daerah terkait pengurusan persyaratan administrasi, KTP, dan kedudukan di pemerintah desa. Akibatnya, mereka merasa dikucilkan, didiskriminasi, dan tidak mendapat ruang yang aman dan nyaman dalam melaksanakan praktik ibadah maupun bersosial dalam kesehariannya.

Barometer Toleransi

Oleh karena itu, praktik baik dan harmonisasi yang diterapkan oleh masyarakat minoritas di Kudus maupun daerah lain dapat ditiru sesuai dengan kultur dan kondisi di lapangan. Sehingga dengan begitu, tidak ada lagi masyarakat minoritas yang merasa dikucilkan ata mendapat diskriminasi dan kerukunan umat dari beragam agama dapat terus terjaga. Diperlukan upaya bersama untuk mewujudkan wacana tahun toleransi agar terus terjaga menjadi kebiasaan dan komitmen Bersama secara berkesinambungan. Kerjasama dan sinergitas di semua sector sangat diperlukan baik dari pemerintah, masyarakat maupun ormas keagamaan. Selain itu, implementasi keberagaman dan toleransi juga perlu didukung dengan penyebarluasan dan publikasi media lewat jurnalisme damai.

Sehingga, pencanangan Tahun  Toleransi 2022 tidak hanya menjadi program formalitas demi keuntungan tertentu saja. Jika semua dapat bersinergi dan bekerjasama dengan baik, maka harapan mewujudkan Indonesia yang damai dan toleran sesuai wacana tahun toleransi akan menemukan momentumnya. Sangat penting untuk konsolidasi budaya dan merekatkan serta menguatkan kembali pentingnya toleransi di negara kita. Sebab empat indicator utama yang harus ada dalam penguatan moderasi beragama adalah toleransi. anti kekerasan, wawasan kebangsaan, dan ramah tradisi.

Bukan tidak mungkin, harapan Indonesia menjadi barometer toleransi dunia bisa digaungkan lebih luas. Pada hal yang sama, best practice tentang toleransi di Indonesia dapat merambah ke dunia global dengan semangat toleransi untuk menjaga perdamaian dan kerukunan. Dengan begitu, diharapkan pula kebutuhan nyata atas kondisi masyarakat kita untuk memastikan kehidupan umat beragama yang rukun, damai, dan toleran. Semoga. (*)

Eka Rizkia Larasati,

Penulis adalah mahasiswa IAIN Kudus

Catatan:

Artikel ini dipublikasikan untuk kepentingan lomba, sehingga tidak dilakukan proses editing oleh pihak redaksi.

Comments