Al-Quran dan Keterbatasan Sainstek

0
1132

Oleh: Dr KH Muchotob Hamzah MM

Kemajuan sainstek pada era ini bagaikan banjir yang tak terbendung. Banyak topik artikel yang mengentak naluri religi yang telah mapan sejak lahir. Misalnya artikel berjudul “Proyek Cina yang Menantang Takdir Tuhan”.

Di antaranya: 1). Teknologi Cryogenic yang Dipersiapkan untuk Menghidupkan Orang dari Kematian; 2. Bunker Antikiamat; 3). Matahari Buatan yang Energinya Bisa Menggerakkan Seluruh Mesin Pabrik di Cina; 4). Teknologi Metaverse/ Metamesta/ Metaversum.

Lalu apakah jawaban al-Quran?

Al-Quran menyatakan: Tidak ada satu nuktah pun yang perlu diragukan (QS. 2: 2), menjelaskan segala sesuatu (QS. 16: 89), tidak melupakan satu hal-pun (QS. 6: 38), kalam yang pasti (QS. 86: 13), bukan mainan (QS. 86: 14), holistik (QS. 2: 208), tidak ada pertentangan di antara ayat-ayatnya (QS.4: 82), dan sempurna lagi tidak akan ada perubahan (QS. 6: 115).

Kesempurnaan al-Quran di samping sebagaimana tersebut pada alinea pertama di atas, adalah sifatnya yang ijmali (global). Sifat inilah pula yang menjadikan al-Quran selalu sesuai dengan waktu dan tempat (shaalihun likulli zaamanin wa makaanin).

Dalam hal terjadinya ledakan sainstek di sepanjang abadnya, al-Quran memasang dada. Ia berkali-kali menyatakan statemennya yang sangat berani dan meyakinkan. لكل نباء مستقر. اى لكل خبر يخبره الله وقت ومكان يقع فيه  من غير خلف. (Artinya: Tiap berita -dari al-Quran- pasti ada faktanya baik waktu mapun tempatnya akan terjadi tanpa berbeda (QS. 6: 67).

Firman lain:
سنريهم اياتنا في الافاق وفي انفسهم حتى يتبين انه الحق. Artinya: Akan Kami tunjukkan kepada mereka ayat-ayat Kami di ufuk-ufuk dan dalam diri mereka sendiri sehingga terjelaskan bahwa al-Quran adalah benar  (QS.41: 53). Hukum-hukum yang ada di alam semesta adalah sunnatullah yang melekat pada alam itu sendiri (The Law of Nature=The Work of Allah). Sedangkan al-Quran adalah Kalamullah (The Word of Allah). Antara Kalamullah dengan Sunatullah adalah satu sumber. Jadi pasti linier, kecuali yang Allah kehendaki dalam bentuk mukjizat  Misalnya.

Pada faktanya, justru sainteks itu sendiri yang tidak terbatas. Sebagai bukti, sejak Lovelock 1954 memulai proyek menghidupkan orang mati, sampai kini ternyata belum atau tidak bisa. Andaikata nantinya bisa, itupun tidak mengejutkan orang beriman. Karena Nabi Ibrahim pernah  diperlihatkan kuasa Allah dengan burung yang mati dan hidup kembali (QS. 2: 260). Demikian juga Nabi Isa yang menghidupkan orang mati, yang kedua-duanya via mukjizat dari Allah (QS. 3: 49). Bedanya pada sabab, proses dan ujungnya.

Keterbatasan sainstek itu tak lain tak bukan karena sainstek adalah produks manusia. Dan tidak ada manusia yang sempurna. Yang ada hanyalah “Keizen” (Jepang)=istikmaal (Arab)=yaitu hasrat menyempurna. Ya, manusia kepingin sempurna, tetapi selalu berakhir dalam ketidaksempurnaan. Betapa banyak penemu sains dan teknologi di dunia ini. Tetapi tiap kali ditemukan, selalu ada sisi-sisi yang perlu disempurnakan.

Bos “Muri”, Jayasuprana (Kompas.com 22 April 2022), pemilik “Jamu Jago” yang menjadi dosen di Jerman pernah berbagi dalam tulisannya. “Sejak 1970-an, ilmuwan Jerman telah nenyadari bahwa pembuktian ilmiah itu tak terbatas. Bahkan dunia keilmuwan Jerman, menyediakan ruang yang menurut orang Indonesia bersifat klenik seperti parapsikologi, antropofisika yang dianggap mustahil dibuktikan secara ilmiah. Para saintis Jerman sadar, bahwa sains adalah ciptaan manusia yang mustahil sempurna. Bukti ilmiah memang perlu, tetapi tidak harus sampai ke tingkat pengultusan.

Sejarah sains membuktikan: teori Galileo disempurnakan oleh Newton. Kemudian disempurnakan oleh Einstein. Lalu disempurnakan oleh Hawking dan Penrose.  Teori Freud juga diesempurnakan oleh Adler dan Jung, Lalu Watson, kemudian Skinner sebelum Csikszemgmihalyi.” Wallaahu a’lam. (*)

Dr KH Muchotob Hamzah MM,

Penulis adalah ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Wonosobo.

Comments