Oleh: Dr KH Muchotob Hamzah MM
Politik adalah bagian dari ibadah ghairu mahdhah dalam supra struktur keislaman. Ibadah yang penuh lumbung pahala, jika bisa menjalankan nilai-nilai keislaman dengan adil dan elegan. Pada titik lemahnya, politik memang bisa menjadi sarang bencana.
Sebagai pemegang faktor ekstrinsik, Abdullah Bin Saba’ al-Himyari as-Shan’ani alias Ibnu Sauda’ adalah tokoh faktual (Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Lisanul Mizan III/hlm. 289-390/1330H.=6 jalur di luar Saif Bin Umar at-Tamimi. Ia bukan tokoh fiktif sebagaimana versi M. Hashem dalam buku “Abdullah Bin Saba’ Benih Perpecahan Umat” saduran dari karya Imam Murtadha Al-Askari).
Abdullah Bin Saba’ yang pura-pura muallaf dan pura-pura loyal terhadap khalifah Utsman Bin Affan, ini bisa mengintervensi pikiran Muhammad Bin Abu Bakar As-Shiddiq, Muhammad Bin Khudzaifah, Hukaim Bin Jabalah, Al-Asytar An-Nakha’i dan lainnya untuk mengkudeta Khalifah ketiga, Utsman Bin Affan. Akibatnya, khalifah syahid di tangan Tumran Bin Sudan.
Sebelumnya, Abdullah Bin Saba’ telah menggulirkan isu politik dalam bungkus agama, antara lain:
1. Ali Bin Abi Talib telah menerima wasiat Rasulullah sebagai pengganti beliau (An-Naubakhti, Firaq as-Syi’ah, hlm. 44).
2. Umat Islam yang membaiat ketiga khalifah yang ia anggap zalim dan merampas hak kekhilafahan (yaitu Abu Bakar, Umar dan Utsman) sebagai kafir (Loc. Cit.)
3. Ali Bin Abi Talib sebagai Pencipta dan Pemberi rizki semua makhluk (Ibnu Badran, Tahdzibut-Tarikh Ad-Dimasyqy, VII/430)
4. Nabi Muhammad akan hidup kembali sebelum kiamat (Op.Cit. 428).
5. Imam Ali tidak wafat (Abd. Thahir Bon Muhammad al-Baghdadi, Al-Firaq Bainal Firaq, hlm. 234).
6. Inkarnasi Ruh Quds ke dalam para Imam Syi’ah (Al-Bad’u wat-Tarikh, 1996, Juz V/129).
Dari ujaran kebencian (hate speech) inilah kudeta berdarah terhadap khalifah Utsman Bin Affan tetjadi. Akan tetapi jika dianalisis secara sederhana saja, faktor intrinsiklah yang telah berpeluang untuk diintervensi, yaitu:
a. Lahirnya embrio partai politik dengan platform utamanya suksesi sejak wafatnya Nabi Muhammad. Apalagi ketika pelantikan Khalifah Utsman Bin Affan, Abu Sufyan mendatangi kubur sahabat Hamzah seraya berkata: “Hamzah, lihat siapa yang sekarang berkuasa?” sebagai indikator telah transparannya intrik-intrik politik waktu itu.
b. Penurunan imunitas umat tersebut akibat kontestasi politik yang belum mapan, sehingga Abdullah Bin Saba’ yang sesungguhnya tidak termasuk bilangan orang istimewa, mampu memorakporandakan sistem politik. Hal itu karena dia secara intelektual maupun nominal, orang Yahudi yang seperti dia hanyalah sehitungan jari.
c. Akibatnya, umat gampang dimainkan oleh Abdullah Bin Saba’. Jual mainan dari Si Yahudi hitam ini dibeli oleh fraksi muslim yang sedang berdiri pada barisan orang kecewa. Di antara mereka adalah Muhammad Bin Abu Bakar As-Siddiq, gubernur Mesir yang diangkat oleh khalifah Umar Bin Khatthab dicopot oleh Khalifah Utsman Bin Affan.
d. Beredarnya hadis-hadis dha’if dan maudhu’ tentang politik yang mulai mewarnai kontestasi perpolitikan dan menambah panasnya iklim politik saat itu.
e. Ambisi pribadi dengan ijtihad politik yang ingin mengubah sistem yang pro demokrasi (syura) menjadi sistem kerajaan yang feodalistik. Tatanan ini berlanjut hingga era pra modern.
f. Bergesernya sistem politik era Nabi yang berdasar “Kitab An-Nabi=Piagam Madinah” dengan berpayung al-Quran ayat Makiyah yang kemudian dikuatkan oleh ayat Madaniyah, menuju tatanan yang secara perlahan semakin eksklusif kekabilahan.
Perlu diketahui, bahwa Kitabun-Nabi=Piagam Madinah ini pasca amandemen pada zaman Nabi yang memasukkan Nasrani Najran dalam perjanjian, secara formal tidak dicabut.
g. Pasca perang Sifin lahir ideologi takfir yang diinisiasi oleh kelompok Khawarij dan dibalas oleh rival-rivalnya selain dari kelompok Suni yang menghindari ideologi takfir pada sesama muslim. Wallaahu a’lam. (*)
Dr KH Muchotob Hamzah MM,
Penulis adalah ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Wonosobo.