
JAKARTA, Suaranahdliyin.com – Bagi para pengelola atau admin media online dan media sosial di tanah air, kesempatan mengikuti Kopdar Akbar Santrinet Nusantara yang digelar 19 – 21 September ini, tentu memberi pengalaman dan kesan yang baik.
Terlebih, orang nomor satu di jajaran Kementerian Agama (Kemenag); H. Lukman Hakim Saifuddin, menyediakan waktu khusus untuk berbincang, berdialog dan berbagi pandangan tentang keberagamaan dan memberikan masukan-masukan untuk memroduksi konten-konten positif. Di antaranya tentang seberapa jauh keberagamaan bisa ditoleransi.
Terkait hal itu, Menag memaparkan tentang tiga tolok ukur, yang mengacu pada ajaran agama. Pertama, nilai-nilai kemanusiaan. Dalam pandangannya, nilai-nilai kemanusiaan hadir untuk memajukan peradaban agama.
‘’Salat yang sangat personal saja, muaranya tidak ‘berhenti pada Tuhan’ saja, melainkan orientasinya agar kita tidak terjerumus dalam perbuatan keji dan mungkar. Ini sosial,’’ ungkapnya dalam Kopdar yang merupakan rangkaian peringatan Hari Santri 2019 yang digelar Kementerian Agama (Kemenag) bersama Kementerian Luar Negeri (Kemenlu).
Puasa, lanjutnya, yang lebih personal lagi, juga berorientasi pada sosial. ‘’Maka ketika ada yang mengatasnamakan agama tetapi amaliahnya tidak sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan, itu sudah ekstrem. Yang seperti itu harus dirangkul, karena dakwah itu merangkul, tidak mengafirkan,’’ jelasnya.
Kedua, kesepakatan bersama. Disebutkan oleh Menag, bahwa adanya perbedaan dan keragamaan, maka diperlukanlah konsensus. Hubungan dua orang (laki – perempuan) untuk menikah, itupun diikat dengan ikatan sakral. Maka kesepakatan adalah keniscayaan, karena kita adalah makhluk sosial. Ketika ada kelompok-kelompok yang merusak kesepakatan, maka itu sudah berlebihan, sudah ekstrem,’’ jelasnya.

Ketiga, ketertiban umum. ‘’Lagi-lagi ini untuk memuliakan manusia itu sendiri,’’ kata Menag yang selanjutnya memaparkan perihal bagaimana cara ‘’melihat’’ agama dengan tidak mempertentangkannya.
Menurutnya, pendekatan (cara) yang harus ditempuh itu mencerahkan dan tidak mempertentangkan perbedaan. ‘’Jangan sampai terpancing dalam menyikapi perbedaan, kemudian menyalahkan,’’ ujarnya dengan menyebut Prof. Nadisyah Hosen sebagai teladan.
‘’Misalnya, 4 itu bisa dari 2 + 2, 2 x 2, atau 8 – 4. Angka ‘4’ bisa didapat dari penjumlahan, perkalian, pengurangan, dan lainnya. Poinnya, sekali lagi, perbedaan bukan untuk dipertentangkan. Hormati saja, toh kita punya kesempatan menjelaskan pandangan kita,’’ tuturnya. (ros/ adb, rid)