
Pertama kali masuk sebuah komplek pondok pesantren yang terletak di Desa Ploso, Kecamatan Jati, Kabupaten Kudus, nampak jelas gedung berukuran 5 x 15 menghadap ke Barat bertuliskan “Gedung KH Abdullah Shonhadji”, yang menjadi penanda sosok itulah sang pendiri pondok pesantren ini.
KH Abdullah Shonhadji, lahir di pesisir Demak, tepatnya di Desa Morodemak, Kecamatan Bonang, Kabupaten Demak pada 20 Agustus 1936 M. ayahnya adalah H Ustman Al-Baalawi bin Sayyidina Syaikh Isma’il Al Ba’aalwi yang tidak lain adalah adalah keturunan Sayyid Muhammad Waro’i (Sunan Mumbul).
Abdullah Shonhadji kecil terlahir dalam suasana sosial politik Negara Indonesia yang tidak aman, sehingga ia diajak orang tuanya mengungsi ke Semarang melalui jalur laut pada tengah malam.
Ia berkesempatan mengikuti pendidikan di madrasah islamiyah di Kampung Surodilanan, Semarang hingga kelas tiga, lalu pada 24 juli 1950 saat kondisi politik sudah mulai tenang, Abdullah Shonhadji kecil melanjutkan pendidikannya di Sekolah Rakyat Negeri Gebang, Kabupaten Demak hingga tamat.
Selepas itu, pendidikannya berlanjut di Pondok Modern Darussalam Gontor, Ponorogo, tepat di usia 17 tahun. Pada Ahad, 5 Juli 1953, ia diterima menjadi santri di pondok yang dipimpin oleh “Trimurti”, yaitu KH Imam Zarkasyi, KH Ahmad Sahal dan KH Zainuddin Fananie.
Di pesantren inilah Abdullah Shonhadji yang datang dari pelosok pesisir Demak, tumbuh dengan baik, mulai dari kepribadian, wawasan serta pengetahuannya. Pendidikan kepanduan yang ditekuninya, ikut berperan menananmkan kedisiplinan dan jiwa kepemimpinannya. Di pondok itu pula, ia yang dikenal dengan nama Abdullah HS, bergaul dengan para santri dari beragam latar belakang budaya, pemikiran dan pemahaman agama.
Setelah menamatkan pendidikan selama 6 tahun di Pondok Darussalam Gontor, Abdullah Shonhadji mendapat kesempatan belajar di Timur Tengah. Namun ibundanya tidak mengizinkan, sehingga niatan untuk belajar ke Timur Tengah ia urungkan, demi mendapatkan rida ibunda.
Kudus sebagai Pilihan Dakwah
Pada Jum’at, 10 Maret 1961 Abdullah Shonhadji meninggalkan Pondok Darussalam Gontor, dan pada akhir Maret 1961 menuju Kudus. Selama di Kudus ia tinggal di kediaman Karsan, lalu pindah di Pondok Pesantren Abu Amar dan mengajar di Madrasah Mualimin NU Kudus.
Setelah empat bulan tinggal di kediaman Kiai Abu Amar, pada Senin, 3 Juli 1961, ia pindah dan bertempat tinggal di Desa Ploso, Kecamatan Jati untuk mengembangkan dakwahnya dengan tetap mengajar di Madrasah Mualimin.
Di Ploso, ia mengaktifkan kegiatan pengajian di masjid desa, yang kemudian diberi nama Istiqlal, kemudian dilanjutkan mendirikan Sekolah Dasar Islam Istiqlal, yang pada gilirannya berubah menjadi Madrasah Ibtidaiyah Istiqlal Ploso.
Saat ini, Yayasan Istiqlal mendirikan pendidikan jenjang RA dan SMP istiqlal. Didirikan juga pondok pesantren Istiqlal Ploso, yang sebagaian santrinya adalah murid-murid Muallimin NU Kudus dari berbagai kota.
Ia juga ikut andil dalam kepanitian pembangunan SMA NU Kudus yang kini menjadi SMA NU Al Ma’ruf Kudus sebagai sekertaris panitia, dan ditunjuk sebagai salah satu tenaga pendidik di SMA Islam NU Kudus itu.
Bersama berjalannya waktu lahan yang dipakai umtuk bangunan pondok pesantren istiqlal diserahkan kembali kepada pemiliknya yaitu bapak H. Halimi Sahlan. Dan untuk mempertegas pola pengelolaan pondok pesantren yang sudah sekian lama beliau rintis maka dibentuklah Yayasan pondok pesantren Daarusy Syifa al islami dengan luas 400 meter persegi diatas tanah miliknya sendiri.
Dakwah Santun Sang Kiai
KH Abdullah shonhadji menjalankan dakwahnya dengan penuh kesantunan, lembut dan tidak menghadapi perbedaan dengan kekerasan. Ketika harus menghadapi hambatan dakwah yang ia lakukan, disadarinya bahwa yang menentang karena ketidaktahuannya. Kiai yakin, suatu saat mereka akan menemukan kebenarannya. Itu sebabnya pintu rumahnya selalu terbuka untuk berbagai kalangan, mulai dari permasalahan sosial, agama hingga politik.
Sang kiai adalah sosok teladan bagi siapa saja, terutama bagi putra putrinya. Ada hal yang unik dalam komunikasi dalam keluarga. Dengan tetap menjunjung etika dan nilai-nilai kesopanan, kepada putra putrinya diajarkan untuk menggunakan Bahasa Indonesia ketika berbicaranya, sedang kepada ibunya diajarkan menggunakan Bahasa Jawa Krama Inggil. Dalam hal-hal tertentu, diajarkan pula menggunakan Bahasa Arab sebagai pengantar.
Kemandirian juga selalu ditanamkan kepada kesembilan anaknya, agar mampu menghadapi tantangan kehidupan. “Dulu ketika bapak masih sugeng selalu berpesan kepada saya: jangan takut untuk berjalan dan mendaki setinggi apapun. Kalaulah kamu jatuh, masih ada Bapak,” terang Kiai Nasyruddin Abdullah , putra kelima KH Abdullah Shonhadji.
Untuk bidang ubudiyah, sang kiai selalu memberi contoh salat lima waktu dan selalu berjamaah. Salat dhuha dan sholat malam dilakukan kiai tanpa putus sejak muda. Puasa Senin, Kamis dan puasa Yaumul Bits menjadi kelaziman yang dilakukan. Al-Quran selalu dibacanya setiap hari, sembari merenungkan kandungan ayat-ayatnya.
“Mbah Yai itu teladan yang baik bagi kita semua. Beliau istikamah dalam hal apapun. Walaupun hujan deras, misalnya, beliau tetap utamakan jamaah di masjid, dan selama perjalanan ke masjid selalu dengan berzikir,” terang Danung Arifin, salah satu santri yang pernah nderekke jamaah Shubuh di Istiqlal. (Muhammad Najihul Marom, mahasiswa Program Studi Komunikasi dan Penyiaran Islam Islam IAIN Kudus)