Pesan Al-Quran: Orang Zalim Dilarang Memimpin

0
843

Oleh: Dr KH Muchotob Hamzah MM

Al-Quran menyatakan, bahwa Allah menjanjikan imamah (kepemimpinan) kepada Nabi Ibrahim, dan hal itu telah terbukti. Salah satu buktinya, nama beliau menjadi nama manusia di Barat maupun Timur, bahkan orang Atheis sekalipun. Agama dari keturunannya dipeluk oleh dua pertiga penduduk dunia.

Namun Allah berfirman: قال لاينال عهدي الظالمين Artinya: “Janji-Ku (tentang kepemimpinan) itu tidak menjangkau orang yang zalim. Mustahil pangkat itu diberikan kepada orang zalim” (Tafsir Depag RI, 2010, jl. I, hlm. 196).

Terma kepemimpinan dan derivasinya dalam al-Quran memiliki multifungsi. 1). Khalifah (18x), yaitu Nabi Adam dan semua keturunannya (2: 30); 2). Imamah (12×), yaitu orang yang diikuti dalam keimanan (2: 124), atau juga imam kekafiran (9: 12); 3). Wilayah/ kewalian (113×) dengan berbagai makna seperti kekasih dan menguasai urusan (Al-Asfahani, Mufradat…,Kairo: 1988, hlm. 885); 4). Imarah, fungsi komando disebut (247×). Maknanya adalah ulama, pemerintah dan lain-lain (4: 83; 59); 5). Sulthah/ Sulthanah disebut (39×) salah satu maknanya, kemampuan menuntut balas (QS. 17: 33); 6). Mulk/ Malaka (memiliki) disebut (62×) di antaranya berarti raja (2: 247); 7). Hukumah/ legislasi/ kebijakan dan lain-lain (QS. 68: 36-9 dll.); 8). Daulah/ pemerataan/perguliran (7:59; 3: 140); 9). Amanah (20x) dengan maksud fungsi kelola titipan Allah (4: 58 dll.); 10). Mubaladah (19×). Balad, baldah (Ibnul Faris)=dada, dhadha= ndhadhani=membela teritori (34: 15).

Semua terma itu telah dilakukan oleh Rasulullah sebagai pemimpin kecuali terma ” Mulk (raja). Nabi Dawud disebut khalifah (38: 26) kendati beliau seorang raja, tetapi Nabi Muhamad tidak memakainya. Sehingga beliau tidak menunjuk pengganti kepemimpinan di Negara Madinah.

Kesepuluh fungsi kepemimpinan itu tidak ada sistem yang baku. Adanya norma kualitatif seperti hurriyah (kemerdekaan), musawah (kesetaraan), ‘adalah (keadilan), ar-rafaah (kesejahteraan), syura (permusyawaratan) dan lain sebagainya.

“Zalim” sendiri menurut ulama ada tiga dimensi. 1). Zalim kepada Allah seperti musyrik (31:13). (Sebagian ulama tidak setuju ada zalim kepada Alla, karena Diri-Nya tidak pernah ditimpa kezaliman dari siapapun. Hakikatnya si musyrik itu zalim kepada dirinya). Mereka jika mau taubat cukup dengan meninggalkan kemusyrikan dan tidak mengulanginya; 2). Zalim kepada dirinya sendiri seperti makan minum berlebihan sehingga obesitas lalu keserang diabetes, hipertensi, jantung koroner dan sebagainya. Atau diet ekstrem sehingga kekurangan gizi, lalu terjadi kuasiorkor. Taubatnya cukup merubah pola makan dan minumnya; 3). Zalim kepada sesama hidup, khususnya manusia. Seperti korupsi, mencuri, menyakiti orang lain dan sebagainya. Taubatnya tidak diterima oleh Allah sebelum mendapat ampunan dari orang yang dizalimi, baik individual maupun kolegial.

Kenapa orang zalim tidak boleh memimpin? Karena tugas pokok dan fungsi (tupoksi) pemimpin adalah: 1). Menegakkan keadilan; 2). Membasmi kezaliman. Bagaimana kita membasmi kezaliman ketika kita sendiri adalah orang yang zalim?; 3). Menyejahterakan rakyat. Bagaimana bisa melakukannya, jika pemimpinnya sendiri adalah jagonya kapal keruk?; 4). Memeratakan rasa aman, nyaman dan tenteram. Bagaimana bisa melakukannya ketika pemimpinnya adalah preman nan sadis?

Tetapi faktanya ada pemimpin zalim. Firaun kuasa, Namrud kuasa, dan lainnya. Maka, Nabi Muhammad mendapat pesan dari Allah melalui malaikat Jibril: wa’mal maa syi’ta fa innaka majziyyun bih. Berbuatlah sesukamu dan amalan kamu pasti akan dibalas (Hadis Hasan, dalam https://assiwak.wordpres.com/2014/15/).

Kenapa Allah membiarkan kita berkubang dalam kepemimpinan yang zalim? Ya karena Dia menguji kita untuk diberi kesempatan dalam kepemimpinan. Termasuk kita di Indonesia pada 2024 mendatanh. Bisa dengan cara adil maupun zalim.

Bedanya, jika cara adil, akan kita tuai pahala di dunia dan akhirat. Kalau cara zalim, tidak masuk kategori janji Allah kepada kita dan hanya berbuah madu/racun dunia. Akhiratnya? Penderitaan! Wallaahu a’lam. (*)

Dr KH Muchotob Hamzah MM,

Penulis adalah ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Wonosobo.

Comments