Oleh : Aang Riana Dewi
(Penulis lepas dan mahasiswa IAIN Kudus)
Tuhan melimpahkan rahmat-Nya bukan dengan cara menghapus perbedaan keyakinan dan pandangan, tidak pula dengan mengubah tabiat manusia yang telah diciptakan Tuhan itu sendiri, tetapi dengan memperlihatkan kepada umat manusia bagaimana cara menangani perbedaan-perbedaan mereka baik secara intelektual, moral maupun perilaku. Setiap komunitas kaum beriman tertentu dapat memiliki perbedaan-perbedaan diantara mereka sendiri dan tidak terkecuali kaum Muslim. Karena itu, mereka ditunjukkan cara menangani perbedaan atau perselisihan mereka. Perbedaan-perbedaan terjadi diantara para pengikut risalah Tuhan yang bermacam-macam; manusia hanya bersepakat dalam hal menyembah Tuhan yang Esa (Mohamed Fathi Osman, 2006)
Tidak dapat disangkal bahwa umat manusia seluruhnya berbeda. Secara fisik dan psikologis, tidak ada dua manusia betapa pun dekat hubungan biologisnya yang sama persis. Disamping perbedaan-perbedaan ras dan etnis, terdapat sekian banyak perbedaan perolehan, antara lain dalam hal gagasan, pendekatan pengetahuan, prioritas dan penilaian, yang semua itu tumbuh dari lingkungan budaya. Bentuk toleransi masih diartikan mayoritas orang sebagai bentuk toleransi antar umat berbeda agama saja, padahal toleransi dapat diterapkan disemua inci kehidupan dan dapat dimulai dari hal sederhana; berelasi baik dengan tetangga misalnya.
Ragam perbedaan itu sering menjadi sebab timbulnya konflik dalam relasi keseharian dengan masyarakat sekitar, yang bahkan dampaknya sampai memutus tali silaturahim. Hanya karena perbedaan satu masalah saja, hati mereka sudah terbelenggu oleh kebencian kepada saudaranya yang memiliki perbedaan pandangan. Boleh jadi, hal ini karena ketidakpahaman akan sunnatullah di muka bumi ini. Sudah menjadi ketetapan Allah akan adanya perbedaan dan keanekaragaman dalam hidup ini. (Al Hamid Jakfar Al-Qadri, 77) Momen hari raya idul fitri yang mayoritas orang gunakan untuk momen saling memaafkan justru dijadikan syarat berjabat tangan saja tanpa adanya kerelaan memaafkan sehingga keseharian tetap ada konflik yang yang menjadi sekat antar keduanya.
Melihat fenomena diatas saya belajar dari momen saat dipenempatan Musi Banyuasin saat melakukan pengabdian social bagaimana perbedaan itu menjelma menjadi momen untuk meningkatkan hubungan harmonis dengan teman kelompok. Dalam kegiatan yang namanya Pengajar Jelajah Nusa dimana dalam kelompok saya mayoritas beragama Islam dan ada dua sahabat yang beragama non-Islam.
Awalnya canggung karena takut kalau sikap dan perkataan kami menyinggung mereka, namun kami berusaha mematahkan sekat itu dengan membaur dengan aktifitasnya dan perlahan kecanggungan itu menipis sehingga keakraban dengan mereka semakin erat. Dan justru karena ini tingkat kesadaran untuk saling memahami semakin meningkat.
Kami tak canggung untuk saling mengingatkan waktu-waktu untuk beribadah. Semisal saat sholat jumat, sahabat kami yang non-Islam mengantarkan sampai depan masjid dan menunggui kami diluar. Atau saat hari Minggu, kami yang beragama Islam mengingatkan sahabat kami untuk melaksanakan ibadahnya. Hari-hari berlalu dengan indah, project kami terealisasi dengan kerjasama tim yang baik dan kami tidak takut canggung lagi jika kami terbiasa mengucapkan kata-kata dalam agama kita masing-masing, semisal “Bismilah, Alhamdulilah.” Kedua sahabat kami tersenyum dan mengangguk sebagai bentuk bahasa tubuh tidak mempermasalahkan hal itu.
Tidak hanya itu, rumah warga yang tiap petak (gang) memiliki aliran keagamaan yang beragam juga tidak menjadikan masyarakat disana mengurangi cinta kasih. Mereka tetap berelasi baik dan menghargai perbedaan tanpa keinginan untuk menghapuskan atau merawat kebencian dalam hatinya. Misal di petak satu ada pengajian sementara di petak lain sedang ada kegiatan keagamaan lain hal ini tidak menjadi permasalahan untuk saling menghilangkan apa yang sudah menjadi ritual kegamaan masing-masing.
Perbandingan cerita diatas sengaja saya bahas disini untuk dijadikan bahan refleksi bagaimana kita memposisikan diri dalam menyikapi berbagai perbedaan yang ada; menolak dan membiarkan benih kebencian semakin subur tumbuh dihati atau memilih untuk meningkatkan rasa toleransi demi menciptakan keharmonisan hidup dalam berelasi dengan sesama. (*)