Lahirnya Undang-Undang (UU) Nomor 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk yang mencabut Huwelijksordonnatie S. 1929 Nomor 348 jo S. 1931 Nomor 467 dan Vorstenlandsche Huwelijksordonnatie S. 1933 Nomor 98 menjadi bukti sejarah bahwa ihwal pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk, selanjutnya disebut NTR, di Indonesia selangkah lebih maju dan tertata.
UU tersebut ditetapkan oleh Presiden Soekarno pada 21 Nopember 1946 di Linggarjati. Artinya dua tahun setelah merdeka, Indonesia sudah mulai gigih menata sistem politik hukum yang diberlakukan untuk mencapai tujuan negara sebagaimana yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dalam hal ini termasuk pengaturan mengenai NTR.
Berlakunya UU Nomor 22 Tahun 1946 ditandai dengan diundangkannya UU Nomor 32 Tahun 1954 tentang Penetapan Berlakunya Undang-Undang Rebuplik Indonesia Tanggal 21 Nopember 1946 No. 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk di Seluruh Daerah Luar Jawa dan Madura.
Secara eksplisit, peran pengawasan pencatatan nikah yang dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah (PPN), serta dalam hal menerima pemberitahuan talak dan rujuk diatur dalam UU Nomor 22 Tahun 1946, yakni Pasal 1 ayat (1) dan ayat (2). Hal itu membuktikan bahwa “cawe-cawe” Negara dalam kemaslahatan administratif dibidang NTR, sangat dominan. Begitu pula perlindungan hak-hak keperdataan warga negara dalam hal NTR.
Tidak hanya itu. Bahkan sanksi pelanggaran berupa denda dan hukuman kurungan dalam pelanggaran ketentuan NTR secara eksplisit juga diatur dalam Pasal 3 ayat (1) , ayat (2), ayat (3) dan ayat (4).
Di antara pengaturan saat UU tersebut masih berlaku adalah bahwa barangsiapa yang melakukan akad nikah tidak dibawah pengawasan PPN dihukum denda sebanyak-banyaknya R. 50,-
Sedangkan orang yang tidak mempunyai hak untuk melakukan kerjaan PPN, diancam hukuman kurungan selama-lamanya 3 bulan atau denda sebanyak-banyaknya R. 100,- Bahkan ancaman bagi seorang laki-laki yang menjatuhkan talak atau merujuk namun tidak memberitahukan kepada PPN dalam jangka waktu seminggu juga ada ancaman denda sebanyak-banyaknya R. 50,-
Selain itu, bagi PPN yang melakukan kelalaian dalam menjalankan tugas pengawasan pencatatan NTR, juga diancam hukuman kurungan selama-lamanya 3 bulan atau denda sebanyak-banyaknya R. 100,-
Namun ketentuan regulasi ini belumlah mengatur secara detail mengenai dasar perkawinan, syarat-syarat perkawinan, pencegahan perkawinan, batalnya perkawinan, perjanjian perkawinan, hak dan kewajiban suami isteri, harta benda dalam perkawinan, putusnya perkawinan serta akibatnya, kedudukan anak, hak dan kewajiban antara orang tua dan anak, perwakilan dan pembuktian asal-usul anak, perkawinan di Luar Indnesia, perkawinan campuran serta pengaturan mengenai pengadilan.
Perkembangan pengaturan secara detil mengenai NTR, barulah tertata secara terstruktur dengan lahirnya UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang diundangkan pada tanggal 2 Januari 1974. Aturan teknisnya diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Mengenai perkembangan ketentuan pelanggaran terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan bisa dilihat dalam Pasal 45 ayat (1) huruf a dan huruf b.
Untuk kita ketahui bersama, bahwa saat ini UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan telah dirubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas UU Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, diundangkan pada 15 Oktober 2019.
Substansi perubahan pada ketentuan Pasal 7, yang mengatur batas usia perkawinan bagi pria dan wanita serta penyisipan 1 (satu) pasal diantara Pasal 65 dan Pasal 66 yakni Pasal 65A.
Adapun perubahan dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 berbunyi: “Perkawinan hanya diizinkan apabila pria dan wanita sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun”.
Dalam perkembangan berikutnya, mengenai tatanan teknis hukum perkawinan, peminangan, rukun dan syarat perkawinan, mahar, larangan kawin, perjanjian perkawinan, kawin hamil, beristri lebih dari satu orang, pencegagan perkawinan, batalnya hak dan kewajiban suami isteri, harta kekayaan dalam perkawinan, pemeliharaan anak, perwalian, putusnya perkawinan, akibat putusnya perkawinan, rujuk dan masa berkabung diatur dalam Buku I Hukum Perkawinan, vide Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 mengenai Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia (KHI). (*)
Kasmi’an Sag MH,
Penulis adalah Ahli Pertama Penghulu PPPK pada Kantor Kementerian Agama (Kemenag) Kabupaten Rembang.