JAKARTA, Suaranahdliyin.com – Belum genap sebulan, empat kekerasan beruntun terjadi terhadap tokoh dan pemuka agama. Belum lama, kekerasan menyasar KH Umar Basri, pengasuh Pesantren Al-Hidayah Cicalengka, Bandung, Jawa Barat pada 27 Januari lalu dan HR. Prawoto, Komandan Brigade PP Persis di Blok Sawah Kelurahan Cigondewah Kaler Kota Bandung, Jawa Barat, pada 1 Februari.
Ahad (11/2) pagi tadi, kekerasan terjadi lagi. Romo Edmund Prier, SJ beserta Jemaatnya dan Polisi yang hendak mengamankan pelaku, diserang di Gereja St. Lidwina Bedog Desa Trihanggo Kecamatan Gamping, Kabupaten Sleman, Yogyakarta.
Dalam rupa berbeda, kekerasan juga terjadi terhadap Biksu Mulyanto Nurhalim dan pengikutnya di Desa Caringin Kecamatan Legok Kabupaten Tangerang Banten, pada 7 Februari.
Peristiwa-peristiwa itu menyiratkan, adanya kebencian atas dasar sentimen keagamaan. Sesuatu yang harus dihentikan, dikutuk dan dijauhi. Kekerasan, apalagi teror, radikal dan tindakan ekstrem lain, sangat bertentangan dengan Islam dan perilaku Nabi Muhammad SAW.
‘’Nabi Muhammad tidak pernah melakukan atau mentoleransi sikap ekstrem dan radikal. Tidak boleh ada kekerasan dalam agama. Tidak ada agama di dalam kekerasan. Dengan kata lain, jika ada kekerasan berarti itu bukan agama,’’ tegas Robikin Emhas melalui rilis yang dikirim ke Suaranahdliyin.com.
Untuk itu, Ketua PBNU Bidang Hukum, HAM dan Perundang-Undangan tersebut meminta agar segala kekerasan yang terjadi dihentikan. ‘’Kekerasan terhadap tokoh dan pemuka agama, apalagi didasari kebencian atas dasar sentimen keagamaan, berpotensi melahirkan saling curiga, merusak persatuan dan kesatuan bangsa, yang pada gilirannya dapat menjadi gangguan keamanan serius,’’ tuturnya. (ros)