KUDUS, Suaranahdliyin.com – Indonesia terdiri dari beragam suku, agama, ras, etnis dan kelompok yang beragam. Keberagaman yang ada, tak sepatutnya menjadi alasan untuk saling memecah belah. Sebab semua tergabung dalam satu bangsa, yaitu Indonesia.
Satu nusa, satu bangsa dan satu bahasa Indonesia. Demikian kalimat dahsyat yang digaungkan Dr HC Hj Shinta Nuriyah Wahid MHum dalam buka bersama di RM Kampoeng Sawah Undaan Lor, Kudus, Ahad (02/04/2023). Gelaran buka bersama yang dirangkai dengan dialog kebangsaan, itu dimotori oleh Persaudaraan Umat Beragama Muria Raya (PERMATA RAYA).
”Kita itu satu Nusa, satu bangsa, satu bahasa Indonesia yang terangkum dalam semboyan Bhinneka Tunggal Ika, berbeda-beda tetapi tetap satu,” kata Hj Shinta Nuriyah Wahid seraya mengajak peserta hadir menyanyikan lagu Satu Nusa Satu Bangsa.
Istri mendiang Presiden ke-4 Republik Indonesia, KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) itu mengingatkan kepada segenap lapisan masyarakat supaya saling menjaga persatuan dan kesatuan. Meskipun tidak saudara se-iman, tetapi semua tetap saudara dalam kemanusiaan.
”Semua yang di sini ikut berkumpul adalah saudara dalam kemanusiaan. Islam, Katholik, Protestan, Budha, Sedulur Sikep (Suku Samin), Kong Hu Cu, Baha’i dan sebagainya. Buka bersama ini sebagai bukti ungkapan cinta kasih, saling hargai dan saling menghormati sesama manusia,” tuturnya.
Selanjutnya, Hj Shinta Nuriyah mengajak semua komponen untuk melihat bagaimana kelompok marjinal dan kaum dhuafa memperjuangkan hidup. Dan dia memberi contoh dengan rutin menggelar sahur bersama sejak mendampingi Gus Dur di istana Negara.
”Terkadang kami mengajak sahur bersama para pejalan, tukang becak, pengamen, kaum dhuafa dan kelompok marjinal lain di halaman gereja, dan terkadang di halaman kelenteng. Tujuannya untuk mendengarkan bagaimana cara mereka berjuang membangun hidup,” jelasnya.
Untuk itu, Hj Shinta Nuriyah berharap para tokoh agama, pemerintah, masyarakat hingga wakil rakyat, bisa mendengarkan keluh kesah mereka yang terpinggirkan. ”Jangan hanya mengaku wakil rakyat tetapi tidak pernah memerhatikan nasib rakyat,” katanya mengingatkan.
Rawat Kebhinnekaan
Menghadiri buka bersama dan tausiyah keagamaan bersama Hj Shinta Nuriyah Wahid, tokoh Ahmadiyah asal Colo, Dawe, Kudus, Yusuf Awwab, mengapresiasi pertemuan lintas agama ini sebagai satu hal positif yang perlu dilestarikan.
Di tengah gejolak Islam radikal dan munculnya paham-paham intoleransi yang semakin ramai, dia berharap kegiatan semacam ini rutin diselenggarakan. ”Kalau bisa tidak hanya setahun sekali, di Kudus sendiri banyak kelompok, lintas agama, dan lainnya. Ini merupakan momentum yang bagus untuk mempererat tali persaudaraan,” ujarnya di sela menghadiri acara.
Untuk mengimplementasikan cita-cita persatuan dalam kebhinnekaan itu, katanya, diperlukan kesadaran dalam sisi beragama bagi setiap individu dan kelompok. Menurutnya, kesadaran beragama bisa ditumbuhkan melalui pertemuan-pertemuan lintas kelompok, dialog kebangsaan dan pemahaman mengenai hubungan manusia secara teologis dan secara sosial-kemanusiaan.
“Biarkan kita berbeda sari sisi agama (keyakinan). Tetapi kita adalah saudara dalam sisi kemanusiaan,” tegasnya. ”Jika kesadaran seperti ini dipelajari dan diperkuat oleh masing-masing, bukan tidak mungkin diskriminasi dan intoleransi akan hilang di Indonesia,” lanjutnya.
Fransiska Dwi Yanti, jemaat Gereja Kristen Muria Indonesia (GKMI) Tanjungkarang, mengaku senang dapat terlibat dalam forum lintas kelompok ini. Selain mendapat banyak teman baru, ia merasa mempunyai pengalaman baru dan lebih memahami bagaimana mengimplementasikan sikap toleran.
”Senang, bisa menambah pengalaman baru, mempererat silaturahmi, persaudaraan dan rasa toleransi kepada orang lain,” ungkap gadis yang biasa disapa Cika itu. (sim/ gie, luh, ros, adb)