Haji: Nama, Norma dan Performa

0
1118

Oleh: Dr KH Muchotob Hamzah MM

1. Nama

Nama/gelar Haji/Hajah adalah tradisi khas bangsa Melayu khususnya Indonesia. Kemungkinan gelar ini merupakan apresiasi terhadap mereka. Karena di zaman old, ibadah yang satu ini sepertinya orang yang telah rela mati. Mengenakan kain kafan, mengarungi padang Sahara, iklim yang tidak bersahabat, perangkat teknologi yang minim dan berbiaya besar.

Apresiasi gelar “haji” tidak dicontohkan Nabi Muhammad. Baginda Nabi memberi apresiasi lain seperti gelaran Muhajirin, Anshar, As-Shiddiq (Abu Bakar), Al-Faruq (Umar Bin Khafthab), Zun-Nurain (Utsman Bin Affan), Ilmi/ pintu ilmu (Ali Bin Abi Thalib) dan lainnya. Tujuannya mungkin sekali untuk motivasi dalam prestasi. Demikian pula gelar haji di kita.

II. Norma

Para haji pastinya sudah menjalani norma dengan ritual selengkapnya. Dari hal yang rukun ada lima (ihram, wuquf, thawaf, sa’i dan tahalul), wajib haji ada tujuh=ihram dari miqat, mabit di Muzdalifah malam 10 Zulhijah, melempar jumrah aqabah di hari nahar, melempar tiga jumrah di hari tasyriq dan mabit malam tasyriq di Mina dan thawaf wada’), berbagai sunnah dan meninggalkan muharramaat serta menuai hikmah-hikmahnya.

Sejak ihram dari miqat zamani dan makani, ia sudah harus meninggalkan muharramaat. Hal-hal yang sebelum ihram diperbolehkan seperti coitus dan mula’abah dengan isteri/ suami, pakai wewangian, cukur/ potong kuku, cabut tanaman, bunuh hewan, aqad nikah, itu semua tidak boleh dilakukan. Apalagi hal yang sewaktu tidak ihrampun juga diharamkan seperti fusuq dan jidal.

Dalam hal miqat zamani (rukun dan wajib haji), ihram dapat dilakukan sejak satu Syawal sampai fajar 10 Zulhijah. Sedang miqat makaninya dari salah satu miqat yang lima, sesuai arah kedatangan mereka.

Setelah rukun haji ke -1 yaitu ihram dimulai, lalu rukun ke-2 yaitu wuquf= 9 Zulhijah setelah zawal di Arafah. Di sini ada ritual salat zuhur dan asar dengan jama’ qashar dan dengarkan khutbah. Ini sebuah tempat bersejarah pertemuan Nabi Adam dan Ibu Hawa’.

Disebut Arafah karena mengajak kepada “Kemengertian” para calon haji. Arafah berasal dari kata ‘Arafa-ya’rifu ya’rufu-‘irfatan-‘arafatan-‘irfaanan=mengenal (Tuhan, Allah, semesta, diri, dan orang lain sejagat), mengakui (dosa), mengetahui (dengan ilmu).

Seusai wuquf, mereka salat jama’ qashar maghrib dan isyak di Muzdalifah=wilayah Arafah=tempat berjubel dan Masy’aril Haram= syi’ar yang mulia. (Meskipun berjubel, tiap jamaah tidak ada yang berniat menyakiti orang lain meskipun diri terinjak kaki atau tersodok perut).

Malam 10 Zulhijah ini mereka mabit/menginap di situ walau sesaat (wajib haji). Di sana jamaah mengambil tujuh butir batu untuk melempar jumrah Aqabah pada tanggal 10 tersebut di Mina (wajib haji).

Pada 10 Zulhijah setelah melempar jumrah Aqabah, mereka menuju Kakbah untuk menjalani thawaf ifadhah (rukun haji ke-3). Lalu thawaf mengelilingi Kakbah di (mathaf) tujuh putaran dengan star di Hajar Aswad. Dianjurkan mengusap Kakbah dan mencium hajar aswad (bukan menyembah seperti tuduhan sebagian orang) meskipun Kakbah sudah diberkati oleh Allah (QS. 3: 96). Karena hanya Allah saja yang wajib dan boleh disembah (QS. 11: 26).

Di sana ada ritual setengah lari (raml). Kemudian sa’i di mas’a tujuh kali dari bukit Safa ke Marwah (rukun haji ke-4). Di tengah antara kedua bukit, ada ritual raml juga. Setelah sa’i kamudian tahalul awal dengan cukur. Semua muharamat lepas kecuali jimak, fusuk dan jidal.

Seusai itu, kembali ke Mina untuk mabit malam tasyriq dan lempar tiga jumrah selama dua/tiga hari (wajib haji). Kamudian tahalul tsani (rukun haji ke-5) dan lepas dari muharamat haji. Terakhir thawaf wada’/pamitan tanpa sa’i (wajib haji).

III. Performa

Performa seorang haji yang mabrur indikatornya apa? Ulama berkata: “Jika si haji menjadi lebih baik daripada sebelumnya, dan menjadi teladan kebaikan dari orang-orang di sekitarnya sembari meninggalkan semua muharamat”. Wallaahu a’lam bi al-shawaab. (*)

Dr KH Muchotob Hamzah MM,

Penulis adalah ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Wonosobo.

Comments