Dekonstruksi Islam Ramah dan Islam Radikal

0
1189

Oleh: Hamidulloh Ibda

Islam ya pasti ramah. Kalau tidak ramah, apa pantas disebut Islam? Kalau ada Islam ramah, berarti ada Islam tidak ramah, Islam radikal, begitu? Ya, begitulah kalimat terakhir saat saya menyampaikan materi Praktik Sederhana Bela Negara Muslimat NU Temanggung tak lama ini. Memang rumit dan sulit. Mengapa? Saat ini kita dihadapkan kepada beberapa tantangan. Mulai dari intoleransi, radikalisme, terorisme, vandalisme, yang mengatasnamakan agama Islam.

Selama tiga tahun di FKPT, saya memahami secara mendalam bahwa radikalisme memang berlaku untuk semua orang tanpa pandang bulu. Namun realitasnya dalam konteks Indonesia, hampir 90 persen pelaku aksi terorisme kebetulan beragama Islam sehingga muncul stigma Islam agama yang radikal dan marah yang menciderai substansi ajaran Islam rahmatalillalamin. Dalam konteks inilah perlu adanya dekonstruksi pemahaman bahwa Islam adalah agama ramah.

Dekonstruksi
Dalam filsafat, radikal merupakan berpikir dari akar, dari dasar, dan menjadi sebuah keharusan. Sebab, berpikir dari akar-dasar adalah ciri seorang filsuf dan ilmuwan. Namun dalam konteks Indonesia, radikal bergeser makna menjadi hal yang negatif. Sebab, radikalisme dalam KBBI (2022) dimaknai sebagai faham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastis, dan sikap ekstrem dalam aliran politik.

Radikal diambil dari bahasa Latin, radix atau radici. Menurut The Concise Oxford Dictionary (1987), istilah radikal berarti akar, sumber, atau asal-mula. Menurut BNPT (2022) radikalisme adalah sebuah proses tahapan menuju terorisme yang selalu memanipulasi dan mempolitisasi agama.

Konsep di atas hakikatnya bertentangan dengan substansi Islam ramah karena ada pergeseran makna. Realitasnya memang demikian. Sebab, radikalisme dan terorisme riil adanya, bukan konspirasi apalagi manipulasi. Lalu, apa solusinya?

Bagi saya, solusinya adalah meluruskan paradigma bahwa Islam adalah Islam, agama yang ramah dan bukan agama penyebar radikalisme apalagi terorisme. Pemaknaan ramah juga harus komprehensif dari aspek fikrah (pikiran), akidah (keyakinan), amaliyah (tradisi) dan harakah (gerakan).

Oleh sebab itu, radikal yang diframing sebagai sebuah “kekerasan” juga harus dipetakan pada wilayah mana? Apakah pikiran, keyakinan, tradisi, atau sudah sampai taraf gerakan. Sebab, radikal itu bukan sekadar kekerasan fisik. Namun lebih pada metafisik.

Saya pernah tanya kepada mahasiswa “lebih keras dan jahat mana, antara ditonjok sirahmu dengan diludahi wajahmu?” Sontak mahasiswa menjawab lebih keras dan jahat diludahi. Setelah saya survei, ternyata kekerasan itu letaknya bukan pada kejadian fisiknya, namun lebih pada efek sakit hatinya.

Jika seorang dipukul kepala yang sakit hanya fisiknya. Namun jika diludahi wajahnya, yang sakit adalah hatinya bahkan harga diri, martabat, dan kaliber seseorang, dan itu menjadi penistaan yang paripurna. Dari frame berpikir ini, radikal sah-sah saja, namun harus diberi kelas. Apakah radikal keras fisik, atau radikal dalam arti kekejaman.

Hemat saya, keras itu boleh saatnya kita keras, laiknya tubuh kita ada tulang yang keras, dan daging yang lunak. Namun atas nama apapun, yang namanya kejam itu tidak boleh. Jadi, radikal yang dimaksud harusnya didefinisikan sebagai tindak kekejaman bukan sekadar kekerasan. Begitu!

Maka yang tepat bukan menolak segala bentuk kekerasan, melainkan menolak segala bentuk kekejaman. Itulah pemahaman yang harusnya masuk ke dalam regulasi pemerintah. La kalau kita menolak segala bentuk kekerasan, berarti tulang kita tidak boleh keras? Batu, kayu, besi, dan lainnya tidak boleh keras begitu?

Internalisasi Melalui Model Pentahelix
Soal radikalisme sudah kita luruskan di atas. Sekarang kita perlu meluruskan juga kalimat “membumikan Islam ramah”. Dalam kacamata antropologis, kata membumikan itu tidak cocok. Alasannya, Islam ramah itu adalah Islam yang sudah ada sejak para ulama, walisongo, dan saudara dari berbagai negara mendakwahkan Islam di bumi Nusantara. Bahkan, model dakwah walisongo sangat paripurna karena meniru dakwah Nabi Muhammad Saw dengan metode perdamaian, berbasis kebudayaan, dan menyesuaikan kebutuhan masyarakat Nusantara kala itu.

Jadi, Islam ramah sudah membumi dan indigen yang dikonstruksi dan lahir dari local knowledge (pengetahuan lokal), local genius (kecerdasan lokal), dan local wisdom (kearifan lokal) masyarakat Indonesia. Lalu apa yang cocok? Lebih tepatnya adalah “internalisasi” nilai-nilai dan ajaran Islam rahmatallillamin. Hal ini sama seperti “membumikan Pancasila”. La wong Pancasila itu produk Indonesia kok dibumikan di Indonesia, kan tidak tepat. Sama seperti membumikan Islam ramah. La emang Islam di Nusantara ini tidak ramah?

Yang tidak ramah itu orangnya, perilakunya, tindakannya, atau itu pemahaman tentang Islam transnasional yang diimpor dari luar Nusantara. Lantaran gagal paham dan ada misi merusak Islam dari dalam, maka wajar jika mereka berislam dengan puritan, konservatif, liberal, radikal, bahkan tak segan-segan mudah melakukan takfiri (mengafirkan), tasyri’ (menyirikkan), tabdi’ (membidahkan), dan lainnya kepada sesama muslim, maka istilah Islam radikal semakin populis.

Saya memiliki solusi untuk mengubah paradigma ini. Pertama, pelurusan paradigma bahkan dekonstruksi Islam adalah agama ramah. Titik. Jika tidak ramah, berarti dia, mereka, atau siapa saja, belum memenuhi syarat Islam rahmatallillalamin. Sebab, Islam itu menjamin nyawa, harta benda, dan kehormatan semua orang di sekitarnya, tidak pandang kulit dan bulu. Jangankan sesama manusia, dengan hewan dan tumbuhan pun seorang muslim wajib menginternalisasikan kasih sayang, cinta damai, dan kerukunan.

Kedua, perlu pendekatan lunak (soft approach) dalam mencegah dan menghadapi kelompok yang mengatasnamakan Islam namun radikal. Sebab, api selamanya tidak bisa dipadamkan dengan api.

Ketiga, perlu pelibatan semua pihak dalam menginternalisasikan substansi Islam ramah. Pendekatan inilah yang dissbut dengan pentahelix approach, yaitu pelibatan unsur umara (pemerintah), akademisi, badan atau pelaku usaha, masyarakat atau komunitas, dan media massa termasuk seperti gerakan yang dilakukan suaranahdliyin.com ini.

Keempat, berislam moderat secara kaffah dari pikiran, keyakinan, tradisi, dan gerakan. Selama ini, terjadinya kisruh antara kelompok Islam yang esktrem kanan (radikal) dan ekstrem kiri (liberal) karena hanya ‘uthak-uthek’ masalah fikih, masalah halal-haram, dan berdebat soal dalil. Padahal, Islam harus kontekstual dan menyesuaikan realitas sosial. Dakwah dan edukasi model ini sudah dilakukan Kanjeng Nabi Muhammad Saw sejak dulu.

Itulah secuil bentuk internalisasi Islam ramah dalam kehidupan kita. Islam ramah hakilatnya sudah living (hidup) di dalam masyarakat. Hanya saja, internalisasinya masih pada wilayah ibadah mahzah (rukun Islam), belum menyentuh secara komprehensif pada wilayah ibadah muamalah. Lalu pertanyaannya, kapan kita menginternalisasikan Islam ramah? (*)

Hamidulloh Ibda,
Dosen, Wakil Rektor I Institut Islam Nahdlatul Ulama (INISNU) Temanggung, Ketua Bidang Media, Hukum, dan Humas Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Jawa Tengah, Pjs Direktur Utama Lembaga Penyiaran Publik Lokal (LPPL) Temanggung TV

Catatan:
Artikel ini dipublikasikan untuk kepentingan lomba, sehingga tidak dilakukan proses editing oleh pihak redaksi.

Comments