
Oleh: Rosidi
Sebagai generasi yang lahir dan dibesarkan di lingkungan Nahdlatul Ulama (NU), tradisi ziarah kubur tentu sangat akrab dengan Saya. Baik untuk mendoakan keluarga dan sanak kerabat, juga untuk mengenang dan menghormati jasa para tokoh yang sudah meninggal dunia.
Dan bagi (warga) Nahdlyin, kiranya menjadi pengalaman yang menyenangkan manakala bisa menziarahi makam leluhur dan tokoh pendiri NU, Hadratusy Syaikh Hasyim Asy’ari (Mbah Hasyim) di Tebuireng, Jombang, Jawa Timur yang berada satu kompleks dengan putra dan cucunya: KH. A. Wachid Hasyim dan KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur).
Dan hingga kini, menziarahi makam ketiga tokoh besar NU yang sangat dikenal dan dihormati masyarakat dunia, itu baru sekali Saya lakukan. Namun itu menjadi ziarah yang cukup berkesan.
Betapa tidak. Saat itu, Saya menziarahi makam Hadratusy Syaikh Hasyim Asy’ari, KH. A. Wachid Hasyim dan KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) bersama Dr. H. A. Hilal Madjdi, ketua Pengurus Daerah Muhammadiyah (PDM) Kabupaten Kudus, yang pada saat bersamaan, waktu itu, menjabat sebagai Wakil Rektor I di Universitas Muria Kudus (UMK) dan Drs. Muh Syafei M.Pd, kepala Lembaga Informasi dan Komunikasi (Linfokom) UMK.
Itu kisah perjalanan ziarah ke makam tokoh besar NU pada 2016 lalu, bersama dua ‘’bos’’ Saya yang sangat bersahaja, santun dan suka berdiskusi tentang apa saja. Waktu itu, Saya masih berkhidmah di UMK. Ziarah dilakukan usai mengikuti sebuah acara di Kota Malang.
Pada mulanya, sewaktu perjalanan ke Malang melalui Jombang, Saya ‘’usul’’ untuk ziarah ke makam Hadratusy Syaikh Hasyim Asy’ari, KH. A. Wachid Hasyim dan KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sepulangnya dari Malang. Pak Hilal –demikian Dr. H. A. Hilal Madjdi biasa disapa- mengiyakan usulan itu.
Sewaktu pulang dari Malang, demi menghormati Pak Hilal yang notabene adalah tokoh Muhammadiyah di Kota Kretek, Saya bilang untuk langsung pulang ke Kudus saja, dengan pertimbangan Saya bisa menziarah makam Hadratusy Syaikh Hasyim Asy’ari, KH. A. Wachid Hasyim dan KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pada lain kesempatan.
Namun jawaban Pak Hilal sunggung mengesanlan: ‘’Nggak apa-apa, Mas. Saya juga pingin ziarah, kok,’’ demikian kata Pak Hilal yang masih Saya ingat sampai sekarang.
Tentu saja, jawaban Pak Hilal itu begitu menarik bagi Saya. Lantaran penghargaannya terhadap tradisi warga NU berziarah, sehingga Saya berkesempatan ziarah ke makam tiga tokoh besar NU tersebut bersama tokoh Muhammadiyah itu. Itu adalah kisah pertama kali Saya menziarahi makam tokoh NU yang sangat mengesankan, karena ziarah Saya lakukan bersama tokoh Muhammadiyah.
Lepas dari cerita ziarah tersebut, secara pribadi, Saya juga memiliki keinginan untuk menziarahi makam KH. Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah. Karena kiprah dan perjuangannya bagi Negeri ini, sangat besar. Kendati hingga kini, keinginan ziarah ke makam KH. Ahmad Dahlan itu belum juga kesampaian.
Selain itu, masing-masing kita tentu paham, bahwa hubungan NU-Muhammadiyah itu sangatlah baik dan harmonis, sejak dulu. Bahkan antara Hadratusy Syaikh Hasyim Asy’ari dengan KH. Ahmad Dahlan, memiliki hubungan persekawanan yang sangat dekat.
Ada yang berminat mengajakku ziarah lagi ke makam Hadratusy Syaikh Hasyim Asy’ari, KH. A. Wachid Hasyim dan KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur)? He he … (*)
Rosidi,
Penulis adalah Pemimpin Redaksi Buletin Suara Nahdliyin dan Suaranahdliyin.com