Oleh: Gus Muhammad Mujab
NU memiliki jamaah yang besar, tentu sudah sewajarnya mengeluarkan fatwa terkait dengan isu-isu dan kegiatan keagamaan. NU memiliki banom terkait hal ini (penetapan tanggal), yakni Lajnah Falakiyah NU.
Status NU maupun banom-banomnya seperti juga LBM NU adalah Mufti. Hasil keputusannya disebut fatwa. Ia tidak wajib diikuti. Tapi bisa menjadi pegangan bagi jamaahnya. Jadi berbeda dengan qadla’ (putusan hukum hakim) dan qanun (Undang-undang/ hukum positif). Keduanya wajib diikuti dan ditaati masyarakat. Contohnya seeperti qadlo ‘itsbat (keputusan penetapan awal Ramadan dan Syawal oleh Kememtrian Agama).
Status hukum jika masih dalam taraf fatwa / fikih furuiyyah (jurisprudensi hukum) berbeda-beda. Kalau sudah ditetapkan / diputuskan pemerintah menjadi inkracht (mengikat). Kita sebagai warga negara wajib mentaatinya.
Itupun masih ada sebagian saudara-saudara kita dari ormas lain yang tidak mengikuti keputusan pemerintah, dan malah secara terang-tetangan menggelar kegiatan salat Ied di luar hari yang telah ditetapkan pemerintah.
Kecuali jika hal itu dilakukan secara pribadi atas nama tanggung jawab Ilmiyyah. Seperti apa yang dilakukan oleh Kiai Turaichan Ajhur atau Mbah Tur, Kudus.
Mbah Tur Berbeda dengan Pemerintah
Kiai Turaichan seringkali berbeda dengan pemerintah dalam masalah Ramadan dan Syawal. Beliau bersikukuh atas dasar ilmu yang falak yang dikuasainya.
Tetapi beliau tidak mengajak masyarakat untuk mengikuti pendapatanya. Kiai Turaichan menggunakamn ilmunya untuk dirinya sendiri.
Mbah tidak hanya berbeda dengan pemerintah Indonesia saja, beliau juga bahkan pernah berbeda pendapat dan sikap dengan Pemerintah Arab Saudi dan ulama seluruh dunia dalam hal wuquf di Arafah, rukun haji yang paling utama. Sebagimana sabda nabi s.a.w :
الحج عرفة
Ibadah Haji adalah Arafah.
Jika orang ketinggalan wuquf di Arafah, ibadah hajinya bisa tidak sah. Dan harus menunggu satu tahun yang akan datang jika ingin melaksanakan ibadah haji lagi. Ini tidak main-main.
Tetapi demikian, Kiai Turaichan memilih wukuf pada hari -yang menurut pemerintah Arab Saudi dan para ulama sedunia pada waktu itu- yaumun nahri, 10 dzulhijjah, tentunya atas dasar ilmu falak yang dikuasainya, hari itu adalah yaumul Arafaah, tanggal 9 Dzulhijjah dalam keyakinan beliau.
Coba bayangkan, sedunia hanya beliau sendiri yang wukuf. Tidak ada orang lain.
Kiai Turaichan dengan pendapat dan sikapnya itu tidak lantas mengajak teman-temannya untuk wukuf pada hari itu. Karena beliau tahu, secara fikih yang wajib ditaati adalah pemerintah Arab Saudi.
Berbeda Pendapat dengan NU
Polemik yang tak kalah menarik tentang kiai Turaichan adalah ketika beliau berseberangan dengan NU.
Ketika NU atas ijitihad Kiai Ahmad Shidiq yang dimotori oleh Gus Dur nenerima Pancasila sebagai asas dasar negara, kiai Turaichan adalah salah satu ulama yang paling “keras” menentang.
Keras yang saya maksud disini adalah secara ilmiyyah dan hujjah. Bukan asal mengumpat dan bawa pentung.
Menurut Kiai Turaichan, sila pertama Pancasila: “Ketuhanan yang Maha Esa” adalah terjemahan dari “tauhidul uluhiyyah” (mentauhidkan tuhan yang banyak), bukan “tauhidul ilah” (mengesakan tuhan yang satu).
Jadi arti dari kalimat sila pertama tersebut adalah, setiap agama memiliki Tuhan satu-satu. Bukan tuhannya hanya satu: Yakni Allah. Seperti yang diajarkan oleh ilmu aqidah.
Tapi itulah kiai NU. Seringkali berpolemik dan berseberangan dengan sengit. Namun mereka tetap rukun. Ketika Gus Dur menjadi Presiden, di antara ulama yang pertama dikunjungi adalah Kiai Turaichan, dan beliau menyambutnya dengan hangat.
Meskipun demikian, tidak melulu kiai Turaichan berseberangan dengan Pemerintah dan NU. Di antarannya adalah pendapat tentang pencatatan nikah oleh KUA dan Hukum Bank, khususnya Bank Negara. Beliau menerima dan mendukung dua program tersebut.
Tentang bank ini bisa anda baca hasilnya di buku hasil munadharah NU Kudus.
Pada akhirnya, Mbah adalah sosok pribadi dan contoh yang paling tepat untuk mengartikan maqalah yang sering beliau kutip:
عليك بطريق الحق ولا تستوحش لقلة السالكين، وإياك وطريق الباطل ولا تغتر بكثرة الهالكين ..” ابن القيم
“Berjalanlah di jalan yang benar meski yang melakukan sedikit. Serta jangan melalui jalur yang salah, meskipun banyak yang melakukannya,”
Inilah contoh yang bisa kita teladani dari ketugahan Kiai Turaichan dalam mempertahankan kebenaran ilmu yang beliau yakini. Tidak peduli meski yang melakukannya sedikit. Tidak peduli meskipun hanya sendiri. (*)
Gus Muhammad Mujab,
Penulis adalah pengasuh Pondok Pesantren (Ponpes) Al Yasir, Jekulo, Kudus