Siapa Gus Dur?

0
2185

Oleh: Abdulloh Hamid

Pertama kali Saya mengetahui tentang KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), adalah pada 1998, saat masih duduk di bangku kelas 1 MTS NU Tasywiquth Thullab Salafiyah (TBS) Kudus. Kebetulan waktu itu Saya masih mondok. Melalui poster-poster yang betebaran di sekitar pesantren, gambar Gus Dur disandingkan dengan lambang Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).

Setahun kemudian, Gus Dur menjadi Presiden Republik Indonesia (1999) dan mengadakan kunjungan di pesantren-pesantren, termasuk di Kudus. Salah satu pondok pesantren yang dikunjungi adalah pesantren tempat Saya belajar, yaitu Pondok Pesantren (Ponpes) TBS Kudus di Langgar Dalem, Baletengahan.

Gus Dur saat itu didampingi para kiai Kudus dan Habaib sowan ke KH. Ma’mun Ahmad, pengasuh Ponpes TBS. Waktu itu Saya masih belum tahu banyak tentang sosok Gus Dur. Saya hanya tahu, Gus Dur adalah Presiden RI dari NU dengan basis pendidikan pesantren pesantren.

30 Desember 2009, Gus Dur meninggal dunia pada usia 69 Tahun. Berita mangkatnya Gus Dur menjadi pemberitaan hampir semua media cetak maupun elektronik. Dan publik paham, bahwa Gus Dur keturunan orang besar, ketika hidup selalu melakukan hal-hal besar, sehingga setelah meninggal beliau dikenang sebagai orang besar.

Saya pun penasaran, siapa itu Gus Dur? Apa hal-hal yang dilakukan olehnya, sehingga ia dikenang oleh hampir semua tokoh masyarakat dan tokoh agama.

Pada 2011 – 2013, Saya belajar di Universitas Negeri Yogyakarta (UNY). Saat di Yogyakarta itu, Saya berkenalan dengan Alissa Wahid, puteri pertama Gus Dur. Alissa Wahid seorang yang cerdas tapi sangat ramah dan bersahabat dengan setiap orang.

Tahun 2014, Saya pindah tugas di Surabaya, Jawa Timur. Kondisi demikian, membuat Saya semakin ‘’merasa dekat’’ dengan Gus Dur. Saya kerap bertemu dengan Alissa Wahid di Kantor TV9 Jl. Dharmo Raya No. 69 Surabaya, bersama dengan Hakim Jayli (Dirut TV9).

Saat membahas apapun, Hakim Jayli selalu merujuk ke Gus Dur, mulai dari ketika menginisiasi Forum Kaum Muda NU pada Muktamar 33 Jombang, sampai ketika menginisiasi Gerakan Nasional Ayomondok. Maklum, Hakim Jayli adalah salah satu staf ahli Gus Dur ketika menjabat Ketua PBNU.

Saat haul Gus Dur ke-5, Saya sudah menetap di Surabaya. Rinduku kepada Gus Dur begitu membuncah, padahal Saya tidak mempunyai kendaraan untuk hormat mengikuti haul di Tebuireng, Jombang.

Waktu sudah menunjukkan pukul 17.00 WIB. Saya baru pulang dari Kampus UIN Sunan Ampel, Surabaya. Tiba-tiba ada pesan masuk di HP saya melalui WhatsApp, yang ternyata Agus Zainal Arifin (Dekan FTIF ITS Surabaya) mengajak Saya ikut ke Jombang hormat Haul Gus Dur.

Betapa senangnya. Tanpa pikir panjang, Saya pun mengiyakannya. Saya berangkat ke ITS untuk bertemu Agus Zainal Arifin. Mahasiswanya masih berderet panjang mengantre bimbingan. Pukul 19.00 WIB, baru kita berangkat menuju Jombang.

Sampai di Jombang, kiai sekaligus budayawan KH. Zawawi Imron baru saja usai membacakan puisinya. Setelah itu kami menziarahi makam KH. Hasyim Asy’ari, KH Wahid Hasyim dan Gus Dur di kompleks pemakaman Tebuireng. Subhanallah, rinduku tersampaikan.

Dua tahun kemudian (2016), haul ke-7. Setiap Desember, netizen selalu ramai tentang hukum mengucapkan selamat Natal kepada saudara Nasrani yang sedang merayakannya. Untuk menyiasati, di ‘’Bulan Gus Dur’’ (Desember) itu, bersama dengan teman-teman @santridesign mengadakan Call for Designer dengan mengangkat tema “Siapa Gus Dur”.

Sehari berselang usai di-launching, peserta membeludak. Tidak hanya para santri, bahkan non muslim juga ikut mengirimkan karya pada lomba tersebut. Ada lebih dari 200 desain yang diterima panitia: para desainer mencoba mendeskripsikan siapa itu Gus Dur melalui karyanya.

Beberapa peserta mendeskripsikan siapa Gus Dur melalui desain sebagai ‘’Gus Dur Ksatria Nusantara’’ (Zuli Rijal Pati, juara I); ‘’Gus Dur Sang Pejuang Toleransi, Jika perbedaan adalah rahmat, mengapa manusia di Negeri ini berebut untuk membencinya? (Silvi Alifah Hilmida, juara II); ‘’Gus Dur seniman dengan kehidupan yang indah dan damai’’ (Arif Wijayanto, juara III); Gus Dur itu seperti lautan hidup berdamai dengan ikan-ikan tanpa membuatnya asin (Alfian, juara favorit).

Berikut adalah jawaban dari pertanyaan Siapa Gus Dur yang terdeskripsikan melalui desain: Gus Dur adalah pelita nusantara, karismanya mampu memukau dunia dan menjadi panutan bangsa, percikan indahnya kehidupan dengan kerukunan beragama, bapak toleransi dan pluralisme Indonesia, pembela mereka yang diberlakukan tidak adil, orang yang selalu memperjuangkan persatuan, karena menghargai keberagaman maka dia dihargai berbagai ragam manusia.

Lebih jauh, Gus Dur adalah ‘’buku panduan’’ setiap rakyat Indonesia, Presiden RI ke-4, setetes minyak yang menyatu dengan luasnya samudera, sang pemersatu bangsa, metamorfosis, pemberani dalam memperjuangkan hak-hak orang kecil dan kaum minoritas, serta santri par excellence.

Tak hanya itu. Gus Dur dikenal pula sebagai pembela walau dicaci, penunjuk jalan kedamaian, ketua PBNU, sang guru bangsa penebar kedamaian, penjaga kehidupan toleransi antarumat beragama, definisi dari ke-bineka-an Indonesia, tokoh bangsa yang tak akan tergantikan, pemimpin ulama dan pejuang kemanusiaan, the peace maker, pelopor perubahan, pencetus ide-ide baru menerobos HAM dan sakralisme Presiden, penasihat jitu, untaian mutiara penenang jiwa, seperti lautan yang menerima apapun jenis air dari seni tanpa mencemarinya dan tetap berkarakter dengan jati dirinya, serta tenda penghangat waktu hujan.

Ia adalah manusia yang memandang manusia dengan kacamata manusia sebagai manusia, bersih dan sederhana; bagai cahaya pagi menerangi dan menghangatkan, sosok sederhana guru bagi seluruh dunia, penuh warna dan mewarnai seluruh bangsa, bingkai pluralis nusantara, pelangi Indonesia, sang pencerah umat, tidak takut berbeda, the real hero, pelopor multikulturalisme, orang yang bahagia atas kelahirannya dan menangis saat kematiannya, semarnya Indonesia, bapak kemanusiaan (memuliakan manusia berarti memuliakan penciptanya, merendahkan manusia berarti merendahkan penciptanya).

Dari berbagai deskripsi itu, jika disimpulkan maka akan mengelompok menjadi 9 nilai-nilai Gus Dur: 1). Ketauhidan; 2). Kemanusiaan; 3). Keadilan; 4). Kesetaraan; 5). Pembebasan; 6). Kesederhanaan; 7). Persaudaraan; 8). Keksatriaan; 9). Kearifan Lokal. Semoga kita bisa menjadi penerus pemikiran-pemikiran Gus Dur, dengan mengamalkan 9 nilai-nilai dasar Gus Dur tersebut. Wallahu a’lam bi al-shawab. (*)

Abdulloh Hamid,

Pengagum Gus Dur, GusDurian Surabaya, dosen UIN Sunan Ampel Surabaya dan Founder Dunia Santri Community.

Comments