Oleh: Dr KH Muchotob Hamzah MM
Dalam setiap agama, organisasi politik (orpol), organisasi masyarakat (ormas) dan lainnya, selalu ada garis-garis dan ideologi. Kebanyakan mereka belum dipandang keluar dari agama induknya meskipun terkadang ada tragedi sampai ada korban jiwa. Kali ini kita akan bahas ringkas agama Islam.
“Islam kaffah” (QS. 2: 208) memiliki dua dimensi ibadah, yaitu ibadah mahdhah seperti salat dan sebagainya (murni=hablun minallah) yang ayatnya turun pada momentum haji wada’, 81 hari menjelang wafat Nabi Muhammad (QS. 5: 3) dan ibadah ghairu mahdhah (tidak murni=hablun minannas) yang berkembang melalui ijtihad berbasis al-Quran (QS.4: 105) dan Sunnah (Bukhari 6805)
Bidang politik termasuk ibadah ghairu mahdhah, sehingga al-Quran dan Sunnah cukup memberikan dasar-dasarnya saja. Dari ayat Allah disimpulkan bahwa: 1). Negara berdiri di atas kesepakatan (Kalimatun Sawaa’) seluruh warga, muslim dan non muslim; 2). Berdasar ke-Tuhan-an Yang Maha Esa; 3). Tidak menyetarakan Tuhan dengan yang lain; 4). Tidak menjadikan manusia berposisi sebagai Tuhan (Arbaab); 5). Toleransi (QS. 3: 64).
Tetapi perpecahan muslim terjadi di masa akhir pemerintahan khalifah Ali bin Abi Thalib sampai hari ini. Maka jika dianalisis, bisa dikategorikan ke dalam tiga garis.
Pertama, garis fulus. Politik garis fulus dihuni oleh muslim yang berideologi liberalisme/ sekularisme/ almaniyah/tahririyah. Kebanyakan mereka memilih partai sekular, dan sebagian kecil di partai moderat/ wasathiyah tetapi memengaruhi kinerja partai.
Politik garis fulus ini meskipun tetap muslim, tetapi gemar merekayasa hukum (hilah-hilah syar’yah). Misalnya; a). berani menyalonkan diri dengan dalih menyontoh Nabi Yusuf (QS. 12: 55). Padahal Nabi Muhammad wanti-wanti jangan ambisi kalau tidak dicalonkan (Bukhari 7149; Muslim 1733); b). Berani money politics, padahal Nabi sudah melarang dengan tegas (Bukhari 2230; Muslim 108), namun alasannya membeli kebenaran; c). Berani meyuap, padahal Nabi telah mengancam dengan api Jahannam (Ahmad 6984; Ibnu Majah 2313) dengan alasan hadiah. Tak ayal, ada pemilihan pengurus orpol atau ormas Islam yang mengandalkan money politics dengan dalil-dalil agama.
Kedua, garis lurus. Nurani mayoritas umat masih mendambakan politik garis lurus tanpa money politics. Sebagian mereka memang kurang mampu secara ekonomi, tetapi kekeh bertahan dalam idealisme wasathiyahnya. Dari muslim ideologi wasathiyah/ moderatisme (QS. 2: 143) ini, mereka mampu mensinkronkan antara dalil naqli dan aqli. Pilkades di Kertosari Pemalang dan Sendangmulyo Sarang Rembang, menunjukkan nurani bersih itu masih hidup.
Mereka mampu mengendalikan syahwat dunianya baik politikus maupun rakyatnya. Mereka jengah dengan dunia money politics yang melanda muslim. Namun politikus kapitalis jahatnya tak henti-henti membujuk umat untuk menerima money politics. Akhirnya iman sebagian umat jebol juga.
Ketiga, garis putus. Kebanyakan mereka terkena pengaruh Wahabi dengan konsep Al-Wala’ wal Barra’ yang fundamentalis/ushuli. Kelompok ini tega memutus hubungan dengan sesama muslim.
Konsep tersebut oleh Syeikh Ibnu Taimiyah dipakai sebagai penangkal jarahan tentara salib yang digunakan oleh politisi Wahabi era Muhammad Bin Abdulwahab, untuk menyingkirkan khilafah Utsmaniyah atas bantuan Inggris. Politik ini agak bergeser era MBS. Di sisi lain ada Hizb Tahrir yang juga “mengafirkan sesama muslim”.
Kini dunia masih bising dengan gaung politisi garis putus. Di hulu, garis ini dicetuskan oleh kaum Khawarij yang menganggap lawan politiknya sebagai kafir.
Konsep pengkafiran itu dibantah oleh Imam Nawawi. Beliau mengutip dan mensyarah hadits: Tamruqu maariqatun ‘inda furqatin minal-muslimiina yaqtuluhaa awlat-thaa’ifataini bil-haqqi. Bahwa “Bakal ada kelompok sempalan ketika terjadi sengketa sesama muslim. Mereka diperangi oleh kelompok yang mendekati kebenaran” (Muslim 1065).
Yang mesti menjadi catatan adalah, bahwa neskipun kelompok Sayyidina Ali lebih dekat kebenaran dan ijtihad Muawiyah keliru, tetapi mereka semua tidak termasuk dalam kekafiran. (Syarah An-Nawawi vii/168). Wallaahu a’lam bi al-shawaab. (*)
Dr KH Muchotob Hamzah MM,
Penulis adalah ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Wonosobo.