Micro-Blood-Moon, antara Mitos dan Sains

0
2314

Oleh: Muhammad Syaifuddin SHI.

Menyoal fenomena gerhana memang syarat akan nilai mitos dan sains, terlebih persoalan ini masih hidup di masyarakat umum. Misalnya, seperti gerhana matahari total yang terjadi pada 22 Juli 2009 lalu. Saat itu kawasan Asia (India, Abhayapuri) menjadi lintasan terjadinya gerhana matahari.

Uniknya, orang-orang pada saat itu berpelukan dan sebagian meniup peluit ketika bulan mulai bergerak perlahan, hingga berada di antara matahari dan bumi. Di India, ribuan warga berduyun-duyun berendam di Sungai Gangga sambil berdoa mengharap berkah sekaligus membersihkan diri dari segala dosa.

Sedang di Pakistan, masyarakat percaya bahwa gerhana dapat menyembuhkan orang cacat, sehingga mereka mengubur keluarganya yang cacat ke dalam lumpur sungai Indus di Hyderabad.

Mitos-mitos tersebut berkembang sesuai dengan adat istiadat yang berlaku. Di Jawa, misalnya. Ada keyakinan yang berkembang di masyarakat awam, saat terjadi gerhana akan dating makhluk gaib bernama Buto yang memakan baik bulan maupun matahari, sehingga mengakibatkan kondisi gelap gulita.

Meskipun secara sains fenomena gerhana merupakan suatu kelaziman yang biasa terjadi saat bulan menutupi matahari, sehingga terjadi gerhana matahari, di mana pada saat itu matahari dan bulan berada di salah satu titik simpul atau di dekatnya.

Sementara gerhana bulan akan terjadi saat bulan memasuki bayangan bumi, di mana bulan berada pada salah satu titik simpul atau di dekatnya, sedang matahari berada pada jarak bujur astronomi 180 derajat dari posisi bulan.

Pada Sabtu (28/07/2018) dini hari nanti, langit Indonesia juga akan ‘menampilkan pertunjukan’ fenomenal gerhana bulan total, dengan durasi terlama di abad ini. Gerhana bulan total akan terjadi pada saat purnama terjauh, yang dalam istilah astronomi disebut dengan apogee (saat gerhana jarak bumi dengan bulan sekitar 406.092 km) atau media menyebutnya micro-moon.

Peristiwa gerhana bulan total ini, adalah kali kedua di tahun 2018. Sebelumnya, terjadi pada 31 Januari 2018, yang pada saat itu terjadi ketika purnama terdekat atau perigee (saat gerhana jarak bumi dengan bulan sekitar 360.148 km) atau media menyebutnya super-moon.

Peristiwa gerhana bulan total pada saat purnama terjauh, ini bisa kita saksikan dari pukul 1:24 WIB sampai pukul 5:19 WIB (untuk WITA ditambah 1 jam dan WIT ditambah 2 jam) di langit Barat.

Pada rentang waktu itu, disunnahkan salat gerhana bulan. Fase total terlama abad ini terjadi pada pukul 2:30 WIB sampai pukul 4:13 WIB, dan puncak gerhana total akan terjadi pada pukul 3:21 WIB.

Menurut Prof. Thomas Djamaluddin, Kepala LAPAN, bahwa pada saat terjadi gerhana bulan total, bulan berwarna merah darah, sehingga lebih populer disebut blood-moon. Warna darah tersebut disebabkan oleh pembiasan cahaya matahari oleh atmosfer bumi, sehingga warna merah cahaya matahari mengenai purnama. Maka tak berlebihan jika media menyebut fenomena gerhana bulan total pada Juli ini dengan istilah micro-blood-moon.

ilustrasi/ sumber: aplikasi stellarium

Dijelaskan lebih lanjut, alasan mengapa gerhana bulan total ini disebut terlama di abad ini, karena lintasannya dekat dengan garis tengah lingkaran bayangan bumi dan juga karena jarak bulan terjauh dari bumi. Dua faktor inilah yang mengakibatkan purnama berada dalam kegelapan bayangan bumi lebih lama dari gerhana bulan pada umumnya.

Alhasil, peristiwa gerhana bulan total terlama abad ini, yang disebut micro-blood-moon merupakan murni fenomena astronomi yang bersifat saintifik, bukan takhayyul yang bersifat mitos.

Maka masyarakat umum diimbau menjadikan momentum tersebut sebagai salah satu ayat kauniyah untuk tadabbur atas kebesaran Allah Swt., dengan bersama-sama menyaksikan dan melaksanakan salat gerhana bulan pada Sabtu dini hari nanti. Wallahu a’lam. (*)

Muhammad Syaifuddin SHI.,

Penulis adalah pengajar ilmu falak di MTs. Tasywiquth Thullab Salafiyah (TBS) Kudus, musyrif Ma’had Aly TBS dan alumnus Prodi Ilmu Falak UIN Walisongo Semarang.

 

Comments