Oleh: Dr KH Muchotob Hamzah MM
Atas bimbingan al-Quran, Khalifah Umar bin Khatthab sering melempar statemen dalam kebijakan pemerintahannya yang sarat kebajikan. Dari sejarah pemerintahannya, dapat dikuak sekelumit kebijakan yang ada keterkaitan dengan arti kemerdekaan makhluk hidup, khususnya manusia dan binatang.
Umar bin Khattab adalah khalifah yang sekuat tenaga berusaha membebaskan manusia dari belenggu penjajahan dan perbudakan.
Pertama, memerdekakan dari penjajahan syahwat harta. Sesungguhnya kebutuhan manusia terhadap harta adalah bersifat natural, alamiyah (dharuriyah). Tidak ada manusia satupun yang bisa melepaskan diri dari kebutuhan terhadap harta. Karena setiap menusia butuh makan, sandang dan papan (tempat tinggal).
Syahwat adalah suatu keinginan untuk memiliki dan mengambil kelezatannya secara berlebih. Jadinya bukan sekedar hubbud-dunya=mencintai dunia yang diperkenankan, tetapi sudah menjadi hubban-jamman= teramat sangat cinta harta yang dilarang (QS. 89: 20). Jadi kecintaan yang menghalangi ketaatan kepada Allah dan Rasulnyalah yang tercela (QS. 9: 24).
Ketika Umar bin Khatthab bersama Abdullah Bin Dinar lewat di padang Sahara nan luas, berjumpa dengan seorang budak penggembala kambing, maka beliau sengaja menguji keimanan sang budak dan kadar penguasaan syahwat harta pada dirinya:
Dia berkata yang ringkasnya: “Hai budak, maukah kamu menolong aku untuk menjual seekor kambing saja milik tuanmu, karena aku butuh bekal perjalanan jauh? Dan aku jamin tidak ada orang yang tahu hal ini kecuali kita bertiga.”
Si budak menjawab: “Fa ainallaah? = Lalu di mana Allah? Dia kan Maha melihat!”
Menangislah khalifah Umar mendengar jawaban si budak itu seraya berkata. “I’taqatka haadzihil kalimatu wa arjuu antu’tiqaka yaumal qiyaamati = Kamu merdeka (aku beli) karena jawabanmu itu. Semoga kalimat itu bisa memerdekakanmu di akhirat nanti.”
Kedua, memerdekakan dari kezaliman sesamanya. Suatu saat gubernur Mesir Amr Bin ‘Ash mengadakan lomba pacuan kuda. Ketika anak gubernur kalah lomba dengan pemuda kampung, marahlah sang anak gubernur dan mencambuk si anak kampung. Begitu Khalifah Umar mendengar peristiwa itu, beliau memanggil gubernur dan anaknya.
Setelah membawa barang bukti, khalifah bertanya: “Ya ‘Amru mundzu kam ta’abbadtumun-naasa wa qad waladat-hum ummahaatuhum ahraaran” (Sejak kapan hai Amru kau perbudak manusia padahal ibunya telah melahirkan mereka dalam kemerdekaan?” katanya seraya mengambil cambuk dan diberikan kepada pemuda kampung untuk membalas cambukan anak gubernur.
Ketiga, memerdekakan burung pipit yang dikurung. Dalam sebuah momentum, khalifah Umar bin Khatthab mendapati seorang anak yang main-main dengan burung pipit, dan mengurungnya dalam sangkar. Khalifah merasa iba karena induk semangnya pasti berteriak-teriak mencarinya dalam kegalauan. Maka beliau beli burung pipit itu dari sang anak dan beliau terbang lepaskan ke angkasa.
Memerdekakan diri dari berbagai kekhawatiran dengan senjata “keadilan”. Di suatu hari, Khalifah Umar bin Khatthab tidur di atas selembar tikar di masjid, tanpa pengawalan pasukan pengawal. Tiba pembesar dan delegasi dari negara Persia/Iran bernama Hormuzan. Ketika dia bertanya kepada orang sekitarnya, dijawab oleh orang itu bahwa yang tidur tanpa bantal di atas tikar itulah sang Khalifah. Maka Hormuzan bergumam: “Namta ya ‘Umar, qad ‘adalta” (Kau dapat tidur hai Umar, karena kau telah berbuat adil).
Keempat, memerdekakan rakyat untuk dapat menyampaikan pendapat. Pada suatu kesempatan, khalifah Umar berkhotbah, yang intinya membatasi besaran mahar pernikahan dan bagi yang sudah lewat supaya mengembalikan. Tiba-tiba ada interupsi dari seorang wanita Quraisy yang membacakan al-Quran, yang intinya bahwa mahar yang telah diberikan kepada isteri jangan diambil lagi (QS. 4: 20), dst.
Ringkasnya, beliau begitu gigih untuk memerdekakan rakyat dari berbagai penderitaan dan ketidak adilan. (dirangkum dari berbagai sumber)
Dr KH Muchotob Hamzah MM,
Penulis adalah ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Wonosobo.